Fenomena "klitih" barangkali bukan sesuatu yang baru di Yogyakarta. Justru, fenomena ini sudah lama berlangsung dan seolah tidak ada habisnya. Lebih ironis lagi, kejadian ini dilakukan umumnya oleh pelajar SMA yang sungguh masih muda di tempat yang kerap dijuluki "Kota Pelajar".
Fenomena ini marak-maraknya terjadi sekitar antara tahun 2005 hingga 2011. Saat itu, siswa SMA yang baru pulang sekolah kerap berkendara motor bersama secara iring-iringan. Mereka berkonvoi dengan sekitar 10 motor, lebih banyak tentu lebih baik.
Ketika mereka bertemu dengan siswa sekolah lain, mereka akan melihat dari sekolah mana pelajar yang mereka temui. Jika berasal dari sekolah yang cenderung dekat dengan mereka, maka tegur-sapa ramah bisa terjadi. Namun, jika berpapasan dengan pelajar dari sekolah yang bermusuhan, perkelahian pun sangat mungkin terjadi.
Hari-hari aktif sekolah pun menjadi situasi "perang" yang selalu mencekam. Beberapa pelajar yang berhati-hati pun mencoba memakai jaket saat pulang sekolah agar tidak ketahuan mereka berasal dari sekolah mana.
Dengan memakai jaket, maka logo sekolah di bagian lengan seragam jadi tak nampak. Puncaknya pun terjadi di hari Sabtu, karena di hari tersebut, umumnya sekolah memberlakukan seragam khusus dengan khas atribut sekolah.
Artinya, kini identitas asal sekolah dapat terlihat di bagian warna celana, sangat sulit untuk menyembunyikannya. Perkelahian pun jadi lebih marak di hari tersebut.
Guru-guru dan pihak sekolah bukannya tidak mengetahui. Berbagai himbauan dan usaha mempersuasi pelajar pun sudah sering dilakukan. Tapi apa daya, perkelahian terjadi di luar jam sekolah, membuat pihak sekolah pun tidak bisa berbuat banyak.
Menurut pengakuan mantan pelaku ataupun korban klitih, sebenarnya istilah "klitih" berawal dari sesuatu yang jauh dari negatif. Klitih berasal dari kata "klitikan" yang maksudnya adalah "Pasar Klitikan", sebuah pasar barang bekas di daerah Pakuncen, jalan HOS Cokroaminoto.
Pelajar kerap mendatangi pasar ini sehabis pulang sekolah bersama-sama sambil santai untuk membeli barang bekas. Dalam perjalanan inilah, kemungkinan beberapa insiden perkelahian antar pelajar sekolah kerap terjadi. Sesuatu yang sudah tentu tidak bisa dibanggakan.
Klitih akhirnya menjadi hal yang "dibudayakan" dalam kultur sosial kehidupan pelajar. Para pelajar senior mewariskan narasi kebencian mereka atas sekolah lain kepada adik kelas mereka. Kemudian saat sudah menjadi senior, adik kelas tersebut pun mewariskan kebencian yang sama pada adik kelasnya lagi.
Dalam narasi tersebut, diwacanakan bahwa berkelahi dengan pelajar dari sekolah musuh adalah sesuatu yang keren. Dengan berkelahi, mereka membalaskan dendam kakak kelasnya dulu sekaligus meneguhkan kekuasaan sebagai sekolah paling ditakuti di Yogyakarta.