Mengukur beradabnya seseorang itu sebenarnya cukup mudah, lihatlah dari bagaimana ia memperlakukan orang yang lebih tidak beruntung dari dirinya. Begitupun, mengukur beradabnya suatu bangsa juga bisa cukup mudah. Lihatlah bagaimana bangsa tersebut memperlakukan individu-individu yang lebih tidak beruntung daripada sebagian yang lain.
Bangsa ini masih belum beradab, karena belum adil terhadap difabel. Sebelum jauh-jauh, kita tahu bahwa istilah difabel itu punya arti "differently able", alias BISA tapi BEDA. Istilah ini dibuat untuk memanusiakan mereka yang berbeda, daripada sekedar menyebut mereka "cacat". Karena orang difabel itu tidak cacat, sekali lagi, mereka bisa, tapi beda.
Ada orang tidak punya tangan tapi bisa melukis lebih indah dengan kakinya daripada orang yang melukis dengan tangan. Ada orang yang tidak bisa melihat dengan matanya, tapi pijatan tangannya begitu nikmat. Jika berjalan, orang yang tidak bisa melihat ini bisa mempertajam indera pendengarannya dan meraba dengan tongkatnya secara lihai. Mereka bukannya TIDAK BISA, justru mereka BISA, tapi BEDA.
Tapi harus diakui, orang difabel butuh fasilitas untuk menunjang kehidupan mereka masing-masing. Terutama terkait aksesibilitas, tunanetra membutuhkan Guiding Block untuk berjalan di trotoar. Orang yang memakai kursi roda butuh ramp untuk naik tangga atau undakan.
Sudahkah fasilitas itu tersedia secara paripurna di Indonesia? Belum. Kita masih melihat bahwa trotoar saja kadang tidak layak untuk orang tidak difabel sekalipun. Di tengah trotoar bisa saja ada lubang got besar yang menganga.
Cukup banyak tangga yang tidak memiliki ramp. Bahkan sekedar undakan kecil yang hanya terdiri dari tiga anak tangga, masih banyak yang tidak memiliki ramp. Buat anda dan saya, mungkin enak-enak saja naik undakan sekecil dua sampai tiga anak tangga, sekali loncat juga terlewati. Buat mereka yang butuh kursi roda, undakan kecil itu tidak lain dan tidak bukan adalah neraka. Sementara 10 anak tangga boleh jadi akan terasa seperti gunung Everest. Mustahil untuk didaki sendirian, dan sangat berbahaya untuk menuruninya sendirian pula.
Pandangan seperti ini mencerminkan masalah yang begitu mendasar pada problematika kemanusiaan kita: tirani mayoritas. Atas dasar "yang menggunakan sedikit", lantas hak "sedikit golongan" tersebut dicerabut dari akarnya.
Anda boleh tidak setuju atas poin ini, itu hak anda. Tapi setidaknya, coba anda berpikir. Jika yang menjadi difabel adalah diri anda sendiri, apa yang ada di benak anda dan apa yang anda harapkan. Jika sebelumnya anda bisa jalan kaki sendirian pulang-pergi dari rumah ke kantor atau ke kampus, bisakah anda melakukannya jika anda kehilangan salah satu indera anda, atau tubuh anda terkunci di kursi roda? Tidak akan bisa.
Empati, kemampuan untuk menempatkan diri sendiri di sepatu orang lain, adalah yang membuat kita menjadi manusia.