Mohon tunggu...
Hamzet
Hamzet Mohon Tunggu... Administrasi - Keterangan Profil harus diisi

Lelaki penadah ilmu, pemulung pengetahuan dan (semoga bisa) mengamalkan serta menebarkannya kembali. Kelahiran Kota Probolinggo yang dalam bahasa gaul lazim disebut "Prolink". Kota ini disebut juga Bayuangga (angin, anggur dan mangga).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Titik Balik

10 Agustus 2011   14:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kedatangan Ustadz Muda

Beberapa jamaah melaksanakan sholat sunnah rawatib, sementara sebagian masih berwudlu’. Sebuah Pajero Sport memasuki halaman musholla. Tak banyak yang memperhatikan kedatangan mobil mewah itu sebelum seorang pengurus musholla mengetahui siapa yang turun dari mobil. Sesosok lelaki muda dengan tampilan rapi berkalung sorban mengejutkan Dusmin, salah seorang pengurus teras (petugas kebersihan bagian teras) musholla. Ia yang awalnya mengira si penumpang mobil adalah musafir yang hendak ikut sholat berjamaah, sejenak melongo lalu tergopoh-gopoh menyongsong sang tamu yang tak lain adalah seorang ustadz yang sering tampil menghiasi layar kaca.

Setelah menyalami sang ustadz, Dusmin kemudian memeluknya seperti orang yang baru datang melaksanakan ibadah haji. Keduanya tampak sudah saling mengenal. Dusmin pun kemudian membimbing sang ustadz menaiki tangga musholla. Jamaah yang kebetulan masih berada di teras musholla segera menyalami ustadz yang ternyata teman bermain Dusmin belasan tahun silam. Namanya Iman Syafe’i. Dulu teman2 sebayanya akrab menyapa Pe’i.

Itulah perjalanan hidup. Teman bermain semasa kecil ketika beranjak dewasa belum tentu memiliki nasib yang sama. Pe’i yang selepas SMA memilih untuk memperdalam ilmu agama di negeri seberang, kini menjadi seorang ustadz. Sementara kawan-kawannya di kampung asyik dengan kehidupan ala anak muda. Kuliah tidak, bekerja pun tidak. Tiap hari luntang-lantung tidak jelas.

Slamet, Dusmin, Bejo, Kardiman, Kliwon dan Paijo menikmati masa muda dengan pesta pora minuman keras hampir saban malam. Untunglah seorang pengusaha waralaba Warung Pojok kampung itu, sedikit berhasil menyadarkan mereka. Berkat bantuan modalnya kini mereka memiliki usaha kecil-kecilan. Mabuk-mabukan dan memalak orang menjadi kisah masa lalu yang kelam. Bahkan Dusmin, sang ketua genk sekarang menjadi pengurus musholla. Wajahnya lebih bersih, pakaian rapi dan bahasanya santun.

Sang Ustadz Memimpin Sholat Taraweh

Usai seluruh jamaah Sholat Isya’ melaksanakan sholat rawatib, Kliwon yang saat itu terjadwal sebagai imam memilih undur diri dan memberikan kesempatan kepada Ustadz Pe’i. Sang ustadz menolak dengan halus. Tapi Ustadz Pe’i akhirnya menyerah setelah jamaah mendukung Kliwon dan meminta Ustadz Pe’i mengimami sholat Isya’ sekaligus taraweh.

Suara ustadz Pe’i ternyata mantap. Ayat demi ayat kitab suci dilantunkannya sesuai tajwid dengan makhraj huruf yang amat fasih. Bacaannya yang tidak terburu-buru terdengar syahdu. Beda sekali dengan imam-imam yang selama ini memimpin sholat yang membaca ngebut seperti dikejar hantu. Demikian pula gerakan sholatnya yang berkecepatan standar. Baru kali ini makmum merasakan sholat dengan tuma’ninah. Kesejukan merambati hati seisi musholla.

Usai sholat, Ustadz Pe’i memberikan ceramah singkat. Ia mengungkapkan kebahagiaannya karena saat ini kehidupan sosial kampungnya sudah jauh lebih baik. Acara-acara keagamaan sudah mulai ada menyaingi hiburan-hiburan duniawi. Ustadz Pe’i juga menyampaikan permohonan maaf karena baru kali ini datang bersilaturrahmi. Sebelum menyudahi mauidhoh hasanah singkatnya, tak lupa ucapan terima kasih ia sampaikan kepada Wepe, sang pengusaha waralaba Warung Pojok yang telah banyak membantu mengubah kehidupan kampung itu.

Usai Taraweh

Satu persatu jamaah keluar dari musholla mengiringi Ustadz Pe’i. Mereka berjajar di tangga musholla melepas kepergian ustadz muda yang hendak berceramah di sebuah acara kampung sebelah.

“Hebat tuh Pe’i yah.... ga ngira gue dia bakal berubah total kek gitu. Padahal dulu dia jahilnya amit-amit. Eh... sekarang sudah alim, kaya lagi!”, puji Slamet terkagum-kagum. Kelima temannya mengangguk-angguk setuju.

“Begitulah kalau memanfaatkan LIMA PERKARA sebelum datang LIMA PERKARA. Sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, muda sebelum tua, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati”, timpal Dusmin.

“Gue kagum ama suaranya. Baguuuusssss banged. Sholat jadi nikmat dan kerasa cepet. Beda ama seorang imam sholat di sini, sudah suaranya serak-serak becek, pake tancap gas lagi! Sholatnya seperti titipan kilat”, sindir Paijo. Kliwon yang merasa disindir langsung memasang muka masam.

“Oh ya, selain jadi da’i, Pe’i juga penyanyi, ‘kali yah?”, Kardiman yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, angkat suara. Pertanyaannya mengagetkan Dusmin.

“Dari mana Lo bisa berpendapat seperti itu?”, sergah Dusmin.

“Ya itu tadi. Di Rekaat terakhir surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas dibaca secara MEDLEY. Itu kan gaya seorang penyanyi yang bawain lagu?”, Kardiman beralasan.

“Halaaaahhhh... dasar dongo Lo Man. Bacaan yang kek gitu ‘kan emang sering di rekaat terakhir Witir... Makanya kalo sholat tuntasin. Jangan kabur duluan. Dasar Lo!” umpat kelima teman Kardiman nyaris bersamaan sambil masing-masing urun satu jitakan.

-------------------

Maksud hati ingin bikin humor Kenthir, kok jadi gini hasilnya. Terpaksa deh ane taruh di kanal Fiksi. Yah, daripada Kardiman libur tampil.

Sepenuh Cinta,

Hamzet [penyair kenthir berdarah]

10082011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun