Mohon tunggu...
Hamzet
Hamzet Mohon Tunggu... Administrasi - Keterangan Profil harus diisi

Lelaki penadah ilmu, pemulung pengetahuan dan (semoga bisa) mengamalkan serta menebarkannya kembali. Kelahiran Kota Probolinggo yang dalam bahasa gaul lazim disebut "Prolink". Kota ini disebut juga Bayuangga (angin, anggur dan mangga).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Khayza

19 Februari 2011   13:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="sumber: 4.bp.blogspot.com/.../love-wallpaper262.jpg"][/caption]

Malam seakan merangkak lambat. Cahaya purnama temaram, terhalang mendung tipis. Senyap menggeratak, hanya desau angin yang terdengar lamat-lamat sedang membelai dedaunan akasia. Malam terasa begitu panjang dan sepi. Kantuk yang menyergap membuat Fahri beberapa kali menguap. Tetapi matanya tak jua terpejam. Ranjang empuk malam ini tak mampu membantunya terlelap. Bolak-balik kanan-kiri, telentang, menelungkup, semua sia-sia.

Segumpal galau sedang mendera hatinya. Seharian ini kepala Fahri disesaki pikiran tentang seorang gadis yang ia sayangi, ia cintai, Khayza. Sebenarnya Khayza belumlah menjadi kekasihnya, setidaknya sampai saat ini. Khayza belum memberi respon apapun terhadap isi hati Fahri yang telah diungkapkannya berulang kali. Tetapi itu bukan penghalang bagi Fahri untuk terus menyayangi dan memberikan perhatian kepadanya. Seperti semenjak siang tadi, Fahri begitu mengkhawatirkannya. Telepon selalu tulalit. SMS berstatus terkirim, namun tak terbalas. Khayza seolah sedang berada di dunia lain yang tak terjangkau pancaran gelombang perangkat komunikasi. ‘Jangan-jangan dia......’ segera Fahri tepis pikiran buruk tentangnya. Fahri kian terbelit gelisah.

Malam kian jauh merangkak, mendaki menuju puncak, melintasi tebing-tebing kesunyian. Semakin larut. Dedaunan pohon anggur menggigil bermandikan embun malam. Dingin memagut, menembus dinding kamar, menusuk sum-sum. Sekali lagi Fahri berusaha pejamkan mata di balik selimut. Seonggok bantal menutupi wajahnya. Tapi percuma saja. Bayang bening wajah Khayza berkelebat di benaknya. ‘Khayza, di mana engkau...’ batinnya.

Terdengar lantunan lagu Menanti Jawaban milik Padi dari ponselnya, pertanda ada pesan masuk. Sontak Fahri menyeruakkan selimutnya dan segera bangkit menuju meja di sudut kamar. Diambilnya ponsel dengan harapan ada pesan balasan dari Khyaza. Maklum, ada sekitar sebelas pesan hari ini yang ia kirim untuk Khayza. Belum satu pun ada balasan. Tergambar gurat kecewa di wajah Fahri. SMS yang masuk ternyata bukan dari Khayza, melainkan hanya sebuah iklan dari nomor yang tak ia kenal. ‘hhhhhmmmm........hhh’ Fahri medesah kecewa, ‘dasar kurang kerjaan... ganggu orang aja’ sungutnya.

Beberapa jenak ia berdiri, tak segera kembali ke kasur empuknya. Dihapusnya pesan masuk tadi tanpa membaca sampai tuntas. Otaknya kembali berpikir di mana gerangan Khayza sekarang? Ia dial nomor 08XXX00542992, nomor ponsel Khayza satu-satunya.

The number you are calling is not active, or out of coverage area. Please try again in a few minutes”, mesin penjawab otomatis operator selular yang terdengar dari seberang, diiringi bunyi tulalit.

Kembali Fahri kecewa. Diempaskan tubuhnya ke kasur di belakangnya. Pikirannya semakin kalut. Terdengar denting jam dinding dua kali dari ruang tengah. Masih dengan menggenggan ponsel ia bangkit dan beranjak keluar kamar, menuju halaman. Ia naikkan resleting sweater untuk sedikit meredam serangan hawa dingin. Diedarkannya pandangan ke arah bumantara. Tak tampak satu pun gemintang. Candra purnama hanya lamat-lamat terlihat dari balik awan. Selebihnya adalah gelap, gelap dan gelap.

***

Sonyericsson Xperia di saku celananya menyalak keras membangunkannya dari tidur. ‘Tak lebih dari satu jam aku tidur’, batinnya, mengingat beberapa saat lalu ia masih berada di teras mendengar 4 kali denting jam dinding. Dengan malas lelaki bertubuh agak kurus ini bangkit sambil menahan kantuknya. Dibiarkannya mulutnya menganga lebar-lebar ketika menguap. Terdengar ponselnya kembali mengalunkan nada panggil. Dari nada yang terdengar, Fahri tahu bila itu bukan panggilan yang ditungu-tunggunya.

“Halo...”

“Assalamu’alaikum...”

“Wa’alaikum Salam...”

“Kirain belum bangun kamu Fa. Gimana, ntar aku jemput atau kamu berangkat sendiri?”, terdengar suara Romy, mengingatkannya akan acara pagi ini.

“Aku berangkat sendiri aja Rom. Satu setengah jam lagi aku nyampe di rumahmu”, sahut Fahri.

“Waduh... jangan lama-lama, dong. Sesuai kesepakatan, kita kudu cabut tepat pukul enam. Lagi pula kasihan teman-teman yang udah pada ngumpul, nih. Oke?

“Emmm. Iya deh aku usahain”

“Nah, gitu dong.... Assalamu’alaikum...” Romy menutup percakapan.

“Wa’alaikum salam”.

Fahri langsung bangkit setelah mengucap salam tanda akhir salat Subuh. Seperti biasa lelaki yang oleh teman-temannya dijuluki pria pesolek ini, mematut diri di depan cermin, tapi kali tak ada lagi waktu untuk berlama-lama. Sejenak kemudian Ia sudah melarikan Vega R-nya membelah kabut pagi menuju rumah Romy. Lalu lintas sudah mulai memadat. Terutama di persimpangan-persimpangan dan sekitar pasar. Dilarikannya kencang-kencang motornya, sesekali ia meliak-liuk di antara kendaraan lain. Bahkan juga harus mengerem mendadak menghindari seorang ibu yang ragu-ragu menyeberang  jalan. Sesekali ia menguap pertanda kantuknya masih menyisa.

Diliriknya Cartier yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, menunjukkan pukul 5.50. Kembali ia menggeber gas motornya kuat-kuat, kembali meliak-liuk dan mendahului kendaraan di depannya begitu ada celah. Sampai kemudian Fahri kesulitan medahului sebuah truk gandeng di depannya. Sementara dari arah berlawanan kendaran besar berderet panjang mengular. Namun Fahri berpikir bahwa ia harus bisa mendahului truk sial ini bila tak ingin terlambat. Lampu sein kanan ia nyalakan ditambah lagi dengan memainkan lampu dim. Si Sopir truk rupanya pengertian. Ia giring truknya agak ke kiri. Melihat ada celah, Fahri segera menarik gasnya kencang-kencang. Namun sial, sebuah kendaraan jenis van dari arah berlawanan juga menyalip kendaraan di depannya. Dan.... “BRAK....!!!!!” terdengar suara sebuah benturan keras. Tubuh Fahri terpental ke tepi jalan. Pingsan.

***

Lamat-lamat Fahri mendengar suara orang bercakap-cakap. Terasa sekujur tubuhnya sakit, terutama pelipis kirinya. Ia coba membuka mata. Hanya mata kanannya yang sedikit membuka. Tapi ia tidak bisa melihat jelas sekeliling. Semuanya kabur seolah hanya bayangan-bayangan.

“Alhamdulillah... Mas Fahri siuman”, terdengar sebuah suara seperti berbisik di telinga kanannya. Fahri mencoba menoleh.

“Mas jangan banyak gerak dulu. Banyak luka di tubuh Mas fahri”, suara itu menyarankan fahri untuk sedikit tenang. Lagi-lagi ia berusaha mengenali pemilik suara itu dengan berusaha membuka matanya. Hanya terlihat bayangan seseorang berdiri di sisi kanannya.

“A..a...aku kenapa? d..dan d..d..di mmmana?”, Tanya Fahri kepada orang di sebelahnya, sambil meringis menahan sakit di pipinya.

“Mas Fahri kecelakaan dan sekarang di Puskesmas. Udah jangan banyak gerak. Menurut suster puskesmas, mas cuma lecet-lecet saja kok.”

“Aku haus...”

Segera saja gadis tinggi semampai yang mendampinginya itu mengambilkan sebotol air mineral lengkap dengan sedotannya. Diarahkannya sedotan tepat ke mulut Fahri dengan hati-hati.

“Bagaimana, mbak? Sudah sadar?... Oh ya, mbak dipanggil ke ruang sebelah untuk membereskan administrasinya”, tanya seorang suster begitu ia masuk dan melihat gadis itu memegang sebotol air.

Gadis itu segera bergegas ke ruang administrasi yang kebetulan bersebelahan dengan dengan ruang tempat Fahri dirawat. Sementara Fahri merasakan tenggorokannya sedikit segar. Perlahan-lahan matanya mulai dapat melihat jelas benda-benda disekelilingnya. Hanya mata kirinya yang tak dapat dibukanya karena tertutup perban. Tampak olehnya selang infus tertancap di lengan kanannya. Perban melingkari tapak tangan kirinya. Dicobanya menggerakkan kaki. Bisa, tetapi terasa sedikit nyeri.

“Khayza..!!!” Fahri sedikit berteriak melihat Khayza berjalan beriringan dengan seorang suster menuju ke arahnya.

“Mas fahri, mas jangan banyak gerak dulu. ‘Kan Kahyza sudah bilang tadi...” Khayza mengingatkan melihat Fahri berusaha bangkit. Fahri merasakan kelembutan tangan Khayza yang menggenggam lengannya.

“Kok Khayza ada di sini juga....?” , tanya Fahri dengan suara agak lirih.

“Mbak ini yang bawa anda ke sini”, suster di sebelah Khayza menyahut.

“Iya Mas, kebetulan tadi pagi aku sama bapak mau nonton acara Morning On The Street di Jalan Hamka. Tapi dalam perjalanan lalu lintas macet karena ada kerumunan.  Eh ternyata Mas Fahri yang kecelakaan. Akhirnya Khayza minta bapak supaya bawa Mas ke sini.” Jelas Khayza.

Fahri mendengarkan seraya tatapannya tak lepas dari wajah cantik Khayza. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia rogoh saku kiri celananya.

“Mas cari ini?”, tanya Khayza sembari menunjukkan ponsel Fahri yang diambil dari dalam tasnya.

“Romy sudah aku hubungi. Sebentar lagi ia menyusul kemari. Eemmmm... Maaf ya Mas, mungkin ini gara-gara aku”.

“Maksudmu?, tanya Fahri tak mengerti.

“Maaf ya mas, aku udah baca sms terkirim untukku. Termasuk juga misscall-miscall-nya. Terakhir pukul 01.39 tadi malam, kan? Urai Khayza menyesal. Kemudian lanjutnya, “Andai aku balas sms Mas Fahri, tentunya Mas Fahri semalam bisa tidur dan tidak ngantuk yang berujung pada kecelakaan ini. Tapi, bukan aku sengaja mengabaikan sms mas. Kemarin ponselku hilang”.

“Jadi...jadi... kamu sudah baca semua pesan di hape itu?”, tanya Fahri dengan wajah merona merah.

“Iya Mas... dan aku jadi mengerti kepedulian mas kepadaku...”, sahut Khayza... dengan suara sedikit serak, “aku jadi tahu, mas mencintaiku”.

“..aku sayang Khayza, aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Semalam aku tidak bisa tidur, menunggu balasan sms-sms-ku. Entahlah kenapa bisa begini”. Fahri menimpali, sembari matanya menatap langit-langit ruang itu.

Diraihnya jemari Khayza, kemudian diletakkannya di atas perutnya seraya dibelai lebut. Rasa sakit di tubuh Fahri hilang sejenak kala keningnnya dikecup lembut bibir indah Khayza.

“Aku tahu sekarang, betapa mas menyayangiku. Aku tahu juga betapa mas tak melupakan tanggung jawab sebagai panitia dengan memaksakan diri datang ke  Morning On The Street, kendati Mas Fahri sangat mengantuk. Sebenarnya Mas Fahri bisa saja mewakilkan kepada teman-teman mas yang lain. .....Asal mas tahu, itu tipe laki-laki idaman Khayza”. Khayza berbisik di telinga Fahri teriring bulir mutiara bening mengalir dari matanya.

Matahari meninggi, pagi segera beranjak digantikan siang. Kondisi Fahri pun sudah memulih. Romy yang datang bersama rombongannya mengurus segala sesuatunya di kepolisian. Termasuk mengambil sepeda motor Fahri untuk segera diperbaiki. Ronal kebagian tugas menyiapkan kendaraan untuk membawa pulang Fahri setelah mendapat penjelasan dokter bahwa luka-luka Fahri tak perlu dikuatirkan dan bisa dirawat di rumah.

“Fahri, kenapa mesti dipapah? Tadi ke toilet kan bisa jalan sendiri?” sergah Romy melihat Fahri dalam papahan Khayza.

Ronal segera angkat bicara, “Udah...udah... biarin aja. Mereka sedang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mereka kan lagi..lagi... k-a-s-m-a-r-a-n.”

“Wakakakakak...” meledaklah tawa mereka di koridor Puskesmas itu.

Catatan: Bumantara = langit

Tlatah Bumi Pendalungan, 190211

Terima kasih buat rekan-rekan warga PLANET KENTHIR atas “provokasi”-nya sehingga saya bisa memaksakan diri membuat CERPENWUR [cerita pendek ngawur] ini. Terutama buat BAIN SAPTAMAN dan ULENG TEPU Salam Kenthir buat semua.... HIDUP KENTHIR...!!!!!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun