Hamzet | nomor 66
Hari itu tanggal 12 bulan 12 tahun 2012, hari yang diperkirakan sebagai hari kiamat. Tapi hari kiamat tidak terjadi atau lebih tepatnya ditunda. Konon karena neraka sedang diperluas untuk meningkatkan kapasitas sehingga mampu menampung para koruptor asal Indonesia yang kian hari jumlahnya terus meningkat. Ternyata walaupun pertumbuhan ekonomi bergerak seperti siput, kemampuan negeri kita di bidang lain (baca: memproduksi koruptor) justru tumbuh pesat, melesat meninggalkan negeri-negeri sekitar. Hehehe....
Keyakinan terhadap angka 121212 sebagai hari kiamat didasarkan kepada kalender Maya. Tetapi ketika aku cek langsung di 3 buah kalender milik mbak Maya, tetangga sebelah rumah, kalendernya sama persis dengan punyaku. Masih ada tanggal 13, 14 dan seterusnya. So, kalender Maya yang mana nih yang bilang 121212 adalah hari kiamat???
Okelah.... kutak mau panjang lebar soal kiamat. Biarkan Ki Amat sibuk di ladangnya. Jangat kita ganggu!
Tanggal 12-12-2012 sangat istimewa buatku. Pada tanggal itu lah aku bertemu seorang sohib lama yang sekian belas tahun tidak pernah bertemu. Maklumlah dia sibuk banget semenjak jadi raja. Saban bulan ada saja acara yang harus dihadirinya di seluruh pelosok tanah air. Bahkan sampai ke negeri jiran segala untuk menghibur rakyatnya.
Sohibku ini sebenarnya kakak kelas pas masih SMA dulu. Aku tahu dia karena suaranya sering terdengar sampai ke kelasku kalau lagi nyanyi lagu India di depan kelasnya. Suaranya enak, bikin aku, teman-teman dan pak guru ikutan bergoyang senggol. Kedekatanku bermula saat membantu dia ketika hendak turun dari jendela kelasnya untuk membolos. Tapi kedekatan kami tak berlangsung lama. Setelah dia pindah sekolah ke Medan, kemudian ke Solo, kami putus kontak.
***
Pagi hari sepulang dari sawah untuk memastikan matahari masih terbit dari timur, sebuah Mercedes Benz hitam terparkir di halam rumah. ‘Siapa gerangan?’ Pikirku. Tumben aku kedatangan tamu bermobil semewah ini. ‘Ah, mungkin mobil tamu tetangga numpang parkir’, aku menerka-terka.
“Assalamu’alakum...” terdengar salam diucapkan seseorang ketika kumenapakkan kaki di teras rumah”.
“Wa’alaikum salam... Oh.... B...B...Bang... Bang Haji... B...B...Bang Rhoma ya....”, aku gelagapan menyadari sosok yang berdiri di depanku adalah orang terkenal. Sejenak sodoran tangannya yang hendak menyalamiku terabaikan. Mataku lekat mengamati wajahnya, meyakinkan diri bahwa orang di hadapanku adalah Rhoma Irama, sang Raja Dangdut.
“Alhamdulillah... Silakan masuk Bang” Aku salami tamuku seraya mempersilakan masuk.
Kami pun kemudian mengobrol ngalor-ngidul. Dari bernostalgia mengisahkan kembali masa-masa SMA dulu, soal keluarga, musik sampai ke urusan negara. Perbincangan soal negara ini lah, kami yang awalnya mengobrol santai berubah menjadi serius.
“Negara ini sudah jauh dari nilai Pancasila. Terutama nilai ketuhanan, kemanusian dan persatuan. Kita dulu bangsa ramah sekarang menjadi bangsa yang pemarah” ujarnya.
“Terus, menurut Bang Rhoma bagaimana. Harus diapakan bangsa ini?”
“Harus dikembalikan ke jalan yang benar” tukasnya.
“Caranya?” aku mengejar pernyataannya lebih lanjut.
“Aku memimpin negeri ini” jawabnya singkat dan jelas.
“Maksudnya, Bang Rhoma harus jadi Presiden?” tanyaku ingin mempertegas.
“Betul!”
“Bang, jadi Presiden itu tidak mudah. Apalagi Bang Rhoma sekarang sudah jadi raja. Rangkap jabatan tuh, Bang. Perlu Abang sadari, negeri ini bukan butuh orang terkenal untuk memimpin, tetapi orang yang memiliki kemampuan” aku berusaha mencegah keinginan Bang Rhoma, sohibku ini.
Meski tetap tersenyum, tampak kekesalan menyeruak dari wajah Bang Rhoma mendengar ocehanku. Wajahnya tertunduk beberapa saat, menekuri tikar pandan tempat kami duduk bersila. Setelah menghela napas, meluncur juga kalimat dari bibirnya.
“Artinya, kau tidak setuju dan tak akan mendukungku jadi presiden republik ini?”
“Bang... maafkan aku” aku menjawab lirih, kemudian lanjutku, “Oh ya, visi dan misi yang Abang agendakan apa, kalau boeh aku tahu?
“ehhhmmmm, aku rasa 680 lagu ciptaanku sudah lebih dari cukup untuk dijadikan visi-misi Republik ini” jawabnya membuatku puyeng.
“Kasihan Tim Sukses kalau harus menyusun visi-misi dari 680 lagu Abang. Sekali lagi, maafkan aku Bang, tidak bisa membantu dalam urusan ini”
“Kalau begitu, tolong beri tahu aku siapa kira-kira yang bisa membantuku” kali ini nada suara Bang Haji terdengar mellow seperti saat berduet dengan Rita Sugiarto menyenandungkan lagu ‘Menunggu’.
“Yah... jikalau Abang memaksa, mungkin bisa ke ES”
“ES siapa? Erri Subakti, maksudmu?”
“Bukan, Bang. ES... Engkong Sabar”
“Zet.... Aku masih mencintai Ricca. Aku tak mau kehilangan dirinya. Jika aku harus menemui Engkong Sabar, mending aku urung nyapres. Sungguh T E R L A L U, kau Zet!!!” Damprat Bang Rhoma keras mendengar saranku. Seraya bangkit, ia kibaskan sorbannya ke wajahku lalu ngeloyor pergi.
“Assalamu’alaikum, kapan-kapan aku ke sini lagi kalau sudah jadi presiden!!” teriaknya sebelum mobilnya keluar dari halaman rumahku.
“Wa’alikum salaaam.... jangan lupa bikin twitter begitu sukses jadi Presiden biar kita bisa keep in touch!” balasku sambil melambaikan tangan.
NOTE:
Kisah di atas hanyalah fiktif belaka, ditulis untuk memeriahkan event Fan Fiction Kompasiana. Karya peserta lainnya sila tengok DI MARI
Bagi penggemar fiksi Kompasiana yang ingin bergabung di FB dapat bertandang KE SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H