Pasca pengumuman susunan kabinet para menteri pada 24 Oktober 2019 lalu oleh Presiden Joko Widodo, publik Indonesia ramai dalam diskursus. Diskursus terjadi diruang publik seperti, kolom media, Â warung kopi, kantor dan yang paling ramai lalu lintasnya adalah dijagat maya. Ada yang optimis dan mengapresiasi komposisi para menteri tersebut tapi tidak sedikit juga yang pesimis.Â
Sebagian menerima dan bersuka cita, namun sebagian lagi merasa tidak nyaman bahkan "marah" dengan pilihan prerogatif tersebut. Berbagai perspektif dijadikan sudut pandang mulai dari politik (lokal, nasional dan geo-politik), ekonomi, sosial, bahkan agama dibawa-bawa.Â
Tapi itu sah saja karena ruang publik adalah mimbar bebas dimana argumentasi saling berkontestasi  hingga mungkin bernegoasiasi.
Diantara sekian topik  diskusi yang menghangat, adalah menteri Nadim Makrim di kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia didapuk menjadi komandannya para profesor, doktor, magister dan sarjana yang bekerja pada sektor pendidikan yang jumlahnya hingga ribuan.Â
Para cendikiawan tersebut tidakkepalang tanggung, sebagian berasal dari perguruan tinggi yang secara tradisi memiliki otoritas akademik mentereng  yakni perguruan tinggi top Eropa, Amerika, Jepang, Timur Tengah termasuk dari dalam negeri. Â
Belum lagi ia harus menjadi pemimpin dari semua kepala sekolah mulai dari jenjang pra-sekolah hingga pendidikan tinggi yang jumlahnya juga tidak sedikit. Jika bukan orang sembarangan dan memiliki nyali patriot atau pejuang keras tentu seorang Nadim Makarim akan "geger". Â
Apa lagi pak menteri adalah orang muda dengan "minim" pengalaman dalam hiruk pikuk pendidikan Indonesia. Tanpa gelar profesor dan tanpa jenjang karir, tiba-tiba menjadi orang nomor 1 di pendidikan. Hanya berbekal  lulusan Harvard University dan  succes story  dibidang usaha transportasi berbasis online apakah menteri Nadim relevan dengan tugas pokoknya? Tentu pertanyaan ini tidak keliru, tetapi juga terlalu dini untuk dijawab.
Sebagai seorang presiden, tentu Jokowi telah memiliki dasar argumen dan hitung-hitungan objektif mengapa memilih menteri Nadim Makarim. Bekal pengalaman 5 tahun dengan catatan-catatan khusus yang dimilikinya pak Jokowi niscaya mempunyai proyeksi besar yang belum tuntas pada kementrian pendidikan.Â
Kita berhusnudzon bahwa seorang presiden tidak mungkin mengabaikan dan mengorbankan persoalan nomor wahid dalam sebuah kontestasi peradaban global melalui pendidikan.Â
Justru sebaliknya bahwa ada ambisi besar presiden Jokowi untuk Indonesia agar bangkit dan menjadi bangsa berperadaban canggih melalui pendidikan. Ambisi dan proyek besar ini menurut Presiden Jokowi secara potensial ada pada seorang anak muda kreatif dan cerdas bernama Nadim Makarim.
 Agar lebih objektif, kisah sukses seorang pemimpin tentu dapat kita gunakan dalam membaca kasus ini. Misalnya seorang Barack Obama, awalnya publik Amerika pesimis, apakah bisa ia menjadi pemimpin Amerika sekaligus pemimpin dunia disebabkan Obama adalah seorang kulit hitam. Tidak ada sejarah dalam kepemimpinan Amerika 1 dipimpin oleh orang kulit hitam, ditambah lagi dengan asumsi Obama lebih moderat kepada dunia Islam.Â