Beberapa hari lalu pernyataan presiden Jokowi tentang pemerintah membutuhkan kritik disampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI menuai beragam macam reaksi dari pelbagai pihak.
Dewasa ini, mendengar istilah kritik dalam dinamika kehidupan merupakan hal yang sangat lumrah terjadi, apalagi berkaitan dengan politik yang tidak terlepesan dengan pelbagai kritik masuk. Kritik mempunyai tafsir beragam namun dari sudut mana kritik itu dipersepsikan.
menarik sebetulnya di tengah peringkat demokrasi bangsa Indonesia yang diliris akhir-akhir ini oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan tersebut menyatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat ke 64 dunia tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina bahkan Timor Leste.
sungguh sangat mengiris hati di tengah berbagai hiruk pikuk catatan buruk bangsa ini, kasus korupsi dana bantuan tunai untuk warga yang terdampak covid-19, kriminalisasi berbagai warga sipil yang terjadi.Â
Tentunya bukan tanpa alasan peringkat tersebut disematkan meliputi wajah demokrasi saat ini, kebebasan kritik dibungkam, keleluasaan masyarakat menyampaikan aspirasi tersumpat, aspirasi berupa wujud demo diperlakukan tidak manusiawi, alih-alih memperbolehkan aspirasi untuk masyarakat negara seakan menutup mata dan telinga.
krisis demokrasi ini tidak terlepas pelbagai macam intimidasi yang terjadi terhadap warga sipil, dikerahkanya alat negara untuk memberendel pelbagai hal yang bersebrangan para akademisi, mahasiswa diintimidasi saat melakukan diskusi ilmiah, seolah haknya sebagai kaum perubahan dikebiri dalam menyampaikan haknya.
Ada yang lebih parah lagi yang menampar wajah demokrasi, terkadang kritik yang dilontarkan masyarakat sipil lewat media digital sering menjadi bahan kriminilisasi, jelas-jelas tendensi kalimatnya berupa wujud narasi membangun bukan atas penghujatan, pengujaran kebencian atau dasar memecah belah bangsa.
Sungguh menjadi ironi untuk wajah demokrasi saat ini. Sepatutnya fenomena semacam ini tidak harus terjadi di negara yang mengedepankan demokrasi.
Pemimpin harus sensitif terhadap aspirasi rakyat, ketika rakyat berani mengutarakan kritik hal ini menandakan bahwa rakyat butuh diperhatikan dan sudah sepatutnya tugas pemerintah mendengarkan bukan ditikam dengan ketakutan jeruji besi.
Kita tidak bisa terkung-kung dengan ketakutan, aspirasi merupakan gizi bagi pemerintah, tugas pemerintah menjamin dan melindungi warganya mengemukan pendapat di muka publik, jangan hanya berani menuturkan kalimat yang tendensinya mengandung kecemasan, alih-alih malah menampakkan wajah kepemimpinan  seperti otoritarianisme.
Kritik terlontar, Â uuite menanti?
Memang benar kritik dibolehkan saja tanpa muluk-muluk namun perlu diingat bahwa keengganan masyarakat akhir-akhir ini berani melontarkan kritik baik secara langsung maupun lewat media digital merasa was-was karena ketika apa yang meraka ucapkan takut dibenturkan dengan uuite, tentu paradoks ini menjadi romansa,pemerintah butuh kritik dilain pihak uuite siap menjerat.Â