[caption id="attachment_341661" align="aligncenter" width="604" caption="Suasana panggung sebelum debat capres-Cawapres dimulai (foto : pribadi)"][/caption]
Semalam, saya beruntung mendapat kesempatan mengikuti debat Capres-cawapres RI langsung di Balai Sarbini-Jakarta. Padahal untuk masuk ke ruangan ini KPU telah menetapkan regulasi ketat, semisal atribut khusus pengunjung hingga atas permintaan dari tim kampanye masing-masing kandidat. Itu juga terbatas, karena ada ‘kelas’ yang sengaja dibuat seperti golongan VVIP, VIP dan undangan kehormatan. Di luar itu, jangan harap bisa mengikuti acara ini, kecuali punya trik special.
Saya sebut trik special, karena saya masuk dengan ‘berpura-pura’ menjadi pengawal pribadi Ketua Umum Partai Gerindra, Prof Suhardi. Padahal wajah saya tidak bertampang pengawal, bahkan secara pribadi beliau tidak mengenal saya secara akrab. Tetapi para ‘penyeleksi’ terkecoh dengan ungkapan Professor Suhardi dengan panggilan ‘Pak Doktor’ pada saya. Padahal, gelar akademik itu belum saya raih, posisinya masih kandidat. Membayang itu saya tersenyum dan sedikit malu-malu atas ulah saya sendiri. Saya pikir ini prilaku tidak jujur. tidak patut di contoh.
Lebih beruntung lagi, saya langsung duduk di kursi VVIP, tempat yang hanya dipersiapkan untuk keluarga Pak Prabowo dan Pak Hatta. Tak ada yang menegur, bahkan sempat mengajak mantan Walikota Baubau, Dr. Amirul Tamim untuk ikut duduk di samping kiri saya. Bahkan persis di kanan saya juga duduk mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) TNI H. Joko Santoso. Bangga rasanya didampingi dua tokoh dengan jabatan elit yang pernah disandangnya.
Bahkan ketika Pak Prabowo dan Pak Hatta menempati kursi audiens, saya persis di belakang Capres-Cawapres ini. Seolah-olah saya menjadi orang penting kedua tokoh ini. Apalagi saat Pak Prabowo menoleh ke belakang, beliau sempat menyapa. “Apa kabar, Sehat?” sapa Pak Prabowo singkat. Saya sigap menjawab, “Siap Pak”. sembari memberi penghormatan, Pak Prabowo tersenyum. Saya yakin, posisi kursi saya menguntungkan masuk televisi, (jadi ingat istilah komedian Tukul Arwana; masuk tv, masuk tv..heheh).
[caption id="attachment_341663" align="aligncenter" width="604" caption="Penulis dengan Pak Amirul, sayangnya Jenderal Joko Santoso tidak terekam kamera di samping kanan Penulis (foto : pribadi) "]
Dialektika Dua Mantan Pejabat
Posisi di apit dua mantan pejabat, naluri jurnalistik saya ‘kambuh’ lagi. Saya ingin sekali mendapat ulasan performa dua kandidat Presiden dan dua kandidat Wakil Presiden di mata seorang mantan walikota dan mantan Panglima TNI. meski saya paham kedua orang ini adalah bagian dari tim sukses Pak Prabowo, sebab Pak Amirul adalah caleg terpilih DPR-RI dari PPP, sementara Jenderal Joko Santoso juga masuk sebagai tim sukses nasional. Tentu bisa subjektif jika menilai Pak Prabowo-Hatta. Tetapi dugaan saya meleset, kedua tokoh ini cukup objektif memberikan penilaian, khususnya pada performa keilmuan pasangan Prabowo-Hatta, juga Jokowi-JK.
Itu yang saya rekam saat debat Capres dimulai. saya juga mewawancarai kedua tokoh ini, hingga acap kali ‘kami bertiga’ sempat ditegur pihak keamanan acara untuk tidak ikut berdiskusi saat acara dilaksanakan. Saya cuek saja. pertanyaan-pertanyaan terus mengalir untuk menggali jawaban dari keduanya. Apalagi dua mantan pejabat ini kerap ‘berkomentar sendiri’ menanggapi pernyataan-pernyataan kedua pasangan kandidat.
Saya memulainya dari Pak Amirul Tamim. Beliau seorang ahli pemerintahan, sebab S1 dan S2-nya ditempuh di IPDN, sementara gelar doktornya diperoleh di Unhas-Makassar dengan keilmuan Doktoral Tekhnik lingkungan. Pak Amirul juga adalah Walikota Baubau-Sulawesi Tenggara selama dua periode dan dikenal cukup berhasil dalam menata kota kecil itu. Ia juga pernah dipercaya sebagai ketua Assosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) untuk kawasan Indonesia Timur yang mewadahi 15 Walikota di kawasan itu. Bahkan setahu saya, Pak Amirul terpilih menjadi anggota DPR-RI I Pileg waktu lalu, juga dengan biaya politik murah, karena ia amat dirindukan pemilihnya di Sulawesi Tenggara. dengar-dengar pak Amirul hanya menghabiskan dana tidak lebih dari Rp 70 juta, hanya sekedar pembiayaan atribut politiknya belaka.