Hampir setahun lamanya tak pernah bertemu tokoh ini, terakhir di pertengahan 2013 diajak ke kediamannya di Hambalang Bogor, dan berdiskusi panjang tak kurang dari 5 jam lamanya. Bagi saya, berstatus anak daerah dan sementara menimba ilmu di Jakarta, momentum ‘diskusi panjang’ itu menjadi sebuah catatan penting dalam hidup saya. Setidaknya, menjawab jika ternyata di negeri ini, masih ada elit yang meluangkan banyak waktunya, justru pada hal-hal yang menurut saya tidak terlalu penting. Sebab umumnya, tokoh-tokoh dengan kesibukannya, kerap hanya menyediakan waktu yang sangat terbatas. Toh itu juga jika tak ada kesibukan lainnya.
Tetapi sebagai seorang yang menekuni pendidikan dan penelitian di bidang komunikasi politik, waktu panjang yang diberikan pak Prabowo menjadi sesuatu yang amat berharga, setidaknya saya bisa menjawab, bagaimana kognisi sosok Prabowo Subianto yang dikenal sebagai jenderal militer dalam mendekatkan dirinya dengan publik Tanah Air dalam kaitannya dengan pencalonan Prabowo sebagai Presiden? Apakah ‘waktu panjang’ itu hanya bentuk citra belaka, yang kemudian dapat saya tularkan ke publik melalui tulisan-tulisan? Saya tersenyum kecil, sebab secara hirarki, saya bukan penulis resmi Prabowo Subianto, atau secara struktural menjadi agen khusus yang memperoleh finansial dari apa yang saya kerjakan.
salah satu kegiatan Ormas Gardu Prabowo. Foto : Pribadi
Cerita saya berakhir sampai di situ. Saya akhirnya melibatkan diri dalam sebuah organisasi massa dukungan ke Pak Prabowo tanpa sepengetahuan beliau secara langsung. Ada dua hal yang menjadi target saya; yakni disertasi saya tentang komunikasi politik seorang Capres bisa mendapat data yang valid. Berikutnya; mengetahui secara realistis bagaimana dukungan publik kepada putra Begawan ekonomi negeri ini; Soemitro Djoyohadikusumo.
Setahun lebih bergulat di Ormas ini, saya begitu banyak mengenal figure-figur kenamaan yang pernah dibesarkan negeri ini, dari yang berpangkat jenderal hingga mereka-mereka yang secara sukarela memberi dukungan tanpa target apapun. Yang terakhir ini membuat saya terkagum-kagum. Sebab alasan mereka teramat sederhana; yakni alasan ideologi, meski mereka menterjemahkan ideologi itu juga teramat sederhana diantaranya; keutuhan NKRI, pemimpin tegas, martabat bangsa di publik dunia, ketentraman, bebas korupsi dan lain sebagainya.
Satu pertanyaan yang tak luput dari saya ketika ke daerah-daerah yakni; apakah tidak ada ketakutan jika Prabowo menjadi Presiden maka negeri ini bakal kehilangan demokrasi karena Prabowo seorang tentara?
Jawaban yang saya terima juga amat sederhana dengan sebuah pertanyaan pula. “Apakah kepemimpinan Pak SBY yang jenderal penuh itu juga menghilangkan demokrasi? Apakah Anda kehilangan kebebasan bersuara setelah mengenal Pak Prabowo? Tidak kan? Jawab mereka. Saya mengangguk-angguk, dan berkesimpulan, jika sebenarnya keinginan rakyat kecil itu teramat sederhana; ketentraman dan kenyamanan, tapi mereka tidak kehilangan daya kritis, sebab mereka telah cerdas dalam memahami realitas politik, yang menurut mereka itu, demokrasi di Indonesia tidak dapat disama-artikan dengan kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang terjadi di dunia barat.
Tanpa mengesampingkan geliat politik tokoh-tokoh lainnya sekelas Megawati, Jokowi, Bakri, Gita Wiryawan, Mahfud MD. Ketokohan Prabowo Subianto di mata rakyat kecil yang tersebar di pedesaan sebagai sebuah sosok yang memiliki kekuatan ‘berbeda’ dengan tokoh-tokoh dimaksud. Karenanya banyak pengistilahan dilekatkan pada tokoh ini. ada yang menyebutnya ‘Soekarno kecil’, ‘titisan Gajah Mada’, ‘Macan Asia’ dan lain-lain. Secara sederhana dapat diasumsikan jika simsol-simbol ini muncul sebagai antitesis dari kepemimpinan Pak SBY kurun waktu 10 tahun yang terakumulasi sebagai kepemimpinan yang ‘lemah’ secara personal dan mempengaruhi ‘system’ yang mengiringi kepemimpinan itu.
Padahal di Pemilu 2014, SBY yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla, dianggap sebagai kepemimpinan paling ideal yang akan membawa Indonesia pada suatu system yang sangat ideal, yakni pemerintahannya kuat seperti zaman Pak Harto tetapi iklim kebebasannya tetap terjaga sebagaimana di negara-negara demokratis Barat. Tentu ini cita-cita yang sulit terwujud dengan membelitnya korupsi dimana-mana.