RUU KUHP yang mengancam suami 12 tahun penjara karena memperkosa istri menuai kontroversi. Selidik punya selidik, aturan itu saat ini sudah ada dan diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Guru besar hukum pidana dari UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto mengatakan "Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT, yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan." (Detiknews.com,16/06/21)
Marital rape merupakan istilah yang saat ini masih asing ditelinga masyarakat umum. Bagaimana tidak, istilah asing ini merupakan gaungan Barat untuk mendeskripsikan keberadaan perempuan yang ditandai dengan kekerasaan seksual atau pemerkosaan yang dilakukan oleh sang suami.
Di negara semaju Amerika Serikat saja, soal marital rape baru muncul di permukaan pada tahun 1970-an. Meski begitu, pada tahun 1993 marital rape dinyatakan illegal di seluruh negara bagian Amerika Serikat. Negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Swiss, sudah lebih dulu melakukannya dan mengkriminalisasi pelaku marital rape. (Femina.co.id,25/11/17)
Â
Marital Rape (pemerkosaan dalam pernikahan) ini kemudian hendak di emplementasikan dalam sebuah rancangan undang-undang untuk menghentikan kasus kekerasaan seksual salah satunya dalam pernikahan ketika suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seks. Regulasi dari pemerintah ini yang tertuang dalam RUU PKS terkait kekerasan seksual adalah bagian dari marital rape yang memungkinkan menekan dan menyerang keluarga Islam.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur pasal tentang tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya atau marital rape. Aturan itu tercantum dalam pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun. Aturan tersebut sebenarnya sudah ada dalam Pasal 53 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Menyikapi permasalahan tersebut  justru hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa hubungan intim suami istri dikatakan sebagai unsur pemerkosaan dan mengapa hal ini dikatakan sebagai kejahatan seksual?
Jika kita melihat realita kehidupan di sistem kapitalisme saat ini bagaimana perempuan dieksplor habis-habisan agar bisa menyaingi kehidupan laki-laki. Banyak wanita yang hendak berperan sebagai kepala rumah tangga hingga menyalahi fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu di rumah.
Kehidupan rumah tangga ini pada akhirnya menghantarkan pada perseteruan dan pertikaian antara suami istri akibat terabainya urusan rumah tangga. Istri yang sudah kelelahan bekerja diluar rumah sudah tak mampu untuk melayani suami dalam urusan ranjang. Walhasil, suami yang melakukan hubungan suami istri atas dasar "pemaksaan" inilah yang digadang-gadang sebagai aksi kekerasaan seksual terhadap istri.
Padahal jika dipahami dalam konsep Islam pelayanan istri terhadap suami merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Namun sayang, ranah ini tergerus oleh paham feminisme yang mengodratkan perempuan atas dasar kesetaraan gender untuk menyaingi laki-laki. Tergerusnya peran perempuan sebagai seorang istri dan ibu inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum feminisme untuk menyuarakan hak-hak perempuan atas laki-laki. Lantas bagaimana Islam menyikapi hal tersebut?
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwasanya marital rape (pemerkosaan dalam pernikahan) yang kembali mencuat ketengah publik disinyalir sebagai bentuk pelegalisasian RUU PKS untuk menghapus segala bentuk tindak kekerasaan seksual. Padahal tindak kekerasaan seksual yang  kerap terjadi adalah bentuk penerapan sekulerisme yakni dijauhkannya peran agama dalam kehidupan.
Adapun kekerasaan seksual maupun KDRT yang terjadi antara suami istri bukan tak lain pula ketika mahligai rumah tangga sudah  tidak dilandaskan sebagai ibadah. Rumah tangga yang tidak dikokohkan dengan syariat Islam menjadikan rapuhnya dinding kebahagiaan antara suami istri. Istri tak lagi taat kepada suami hingga mengabaikan perannya dalam rumah tangga. Pun halnya suami yang tak mampu berperan sebagai pemimpin rumah tangga yang seharusnya menjadi pembimbing dan pendidik istri maupun anak-anaknya.