Mohon tunggu...
Hamran Sunu
Hamran Sunu Mohon Tunggu... -

Belajar menulis cerpen sejak 2002. Aktif di Forum Lingkar Pena Sulsel sejak 2004.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sauri Gading

3 Oktober 2011   12:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau membenci nama itu. Dulu namamu bukan Sauri Gading.

Dengarlah kisah ini baik-baik:

Kau lahir Minggu subuh. Teriakan pertamamu menggema ke langit kelabu memekakkan telinga bintang timur yang melek. Jeritanmu menjeda azan saat Muazin akan melagukan lafaz ‘lebih baik salat daripada tidur’. Mungkin sekali sebagian warga terjaga karena mendengar jeritanmu, bukan karena panggilan salat. Lalu karena itu, nenekmu dengan sumringah menyahut, mancaji bilala makka ampoku, mancaji ustas mangka te ampo.”1

Saat kau mendekap di dada ibumu kali pertama, subuh begitu lama berpijak, hari menunda saputan jingga di timur. Alam menantimu hingga kau menandaskan kolostrum—yang tak ada bedanya dengan ingus; kental, hijau, kekuningan.

Keluarga kecilmu, juga warga desa berdatangan menjejali rumahmu. Kelahiranmu disambut gempita seperti kegembiraan menyambut pesta perkawinan, pesta panen di sawah, dan pesta pindah rumah yang digabung satu.

Mereka berjubel, terutama oleh ruah bau badan yang asing, dan cerita beruntun dari kampung dan rumah masing-masing. Di kolong rumahmu menumpuk bertandan-tandan pisang dan puluhan butir kelapa. Hanya itulah harta terbesar yang bisa mereka persembahkan.

Mengapa kedatangan mereka begitu gegap?

;dari seluruh keluarga kecilmu itu keluargamulah yang terpandang. Bapakmu punya ijazah SMP meskipun bekerja di sawah, dan ibumu satu-satunya guru SD di desamu yang mengajar di desa sebelah. Sekolah inpres yang muridnya datang dari negeri yang jauh; berumah di dekat gunung atau hutan yang sunyi, cekam dan pelosok.

Nenekmu kerap berceloteh (hampir selalu dengan merokok tembakau atau daun sirih yang bercokol di mulut), kelak dari keturunannya yang tak seberapa itu, akan lahir generasi yang segenap potensinya dikentalkan. Diagungkan.

Sejak kelahiranmu hingga hari kedelapan, rumah dan halaman rumahmu berdenyut; anak-anak berebut klaim tanah yang akan dikuasai bermain gappo, asing, atau parles.

Para ibu berpikir kreatif di atas rumah, bagaimana membuat sajian berbahan pisang jadi beraneka ragam. Maka hidanglah pallu butung, pisang ijo, kolak pisang, doko-doko pisang, burongko dan aneka penganan yang baru dilahirkan seperti kau. Sedang bapak-bapak, menunggui dengan bermain domino dan bertukar cerita juga tawa yang gaungnya menyelinap masuk ke kamarmu. Enak betul laki-laki!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun