Pada hari ketujuh, rambutmu dipotong tujuh lembar. Nenekmu mengepit rapat namamu hingga hari itu, ia hanya menyebutkan sekali, dengan keserakan yang lantang sehingga semua orang mendengarnya. Namun sebelum itu, puang imam, paddoja2, dan segenap tetamu yang hadir mesti mendengar dulu omongan serupa igauannya itu. Saya tak mengingat apa saja yang dia katakan. Terangnya, ia bilang namamu itu bukan sembarang pemberian, namamu keramat, simbol legenda bangsa kita. Lalu dengan mulut tremor ia menyebut namamu itu; Sawerigading.
Orang-orang yang mendengarkan ada yang mencibir sambil menggerutu; sakira mi siapa namanya, itu ji pale?3 Yang lain berdecak kagum dan iri, mengapa tak sampai berpikir memberikan nama keramat dan populer itu pada anaknya dulu. Pak imam membatin, ahh, kenapa tak memberinya nama Islami; Abdul Gafur, Abdul Sidik, atau abdul abdul yang lain….
Namun siapa yang ingin mengurus suntuk hal yang sepele itu—apalah arti sebuah nama, iya kan? Kalau kini mereka di tengah kegembiraan pesta besar. Bapak dan ibumu tak hanya memotong dua kambing besar, tapi juga beberapa ekor ayam. Sungguh sorai dan bikin sirik pestamu itu!
Cukuplah cerita gembira dan gempita itu. Tak ada hal yang datang percuma saja di dunia ini, bukan? Seperti orang lain, demikian juga kau.
Lalu, ketika bapakmu mengamati, tititmu itu hanya serupa titik panjang. Ia yakin itulah alamat pertama. Itu-mu berbeda, hanya tonjolan daging yang menumpang di selangkang! Sampai kau masuk sekolah, bapakmu tiasa mengawasinya, untuk melihatnya tegar barang sekali dua. Sayang bapakmu tak pernah memergoki.
Lalu tanda kedua, kau tak pernah berbicara sepatah pun hingga berumur empat tahun, maa, mam, paa, ee… tak ada rajukan itu! Kau hanya kerap tertawa panjang yang tertahan di mulutmu. Kedengarannya malah seperti lenguhan.
Alamat ketiga, saat kau terima raport setahun kemudian, ibumu memprotes! Mengapa bisa namamu berubah, dari Sawerigading jadi Sauri Gading! Kata kepala sekolahmu itu cuma salah tulis, tukasnya cuek. Tahulah segera ibumu biang keladinya adalah wali kelasmu, Pak Suyatno, guru baru pindahan dari Jawa. Tapi protes ibumu seolah tak dihiraukan. Dan begitulah namamu dituliskan hingga kau mendapat ijazah SD. Dan ijazah-ijazahmu selanjutnya. Kau tahu, kalau nenekmu masih hidup saat itu, tentu ia tak akan membiarkan kesembronoan itu terjadi.
“Apalah arti sebuah nama! Toh setiap orang setidaknya mempunyai satu dua kealfaan yang mungkin dibiarkan. Sekalipun itu kesalahan telak. Lagipula kebanyakan oranglah yang menyatakan itu. Kau ingin tahu komentarku tentang kisah ini?”
Sauri menggeleng.
Sauri, tahukah kau bahwa kesakitan dengan kenikmatan itu memiliki batas yang demikian tipis? Begitu juga dengan batas garis puncak kepandaian dengan kebodohan. Kepintaran dan kebodohanmu....
Suatu ketika kau meraih ranking umum di sekolahmu, tapi kali lain kau tersingkir dari kelas unggulan. Tulisanmu begitu memukau dalam pelajaran sastra namun hitunganmu begitu kacau saat pelajaran matematika. Rangkaian kata-katamu berkilau seperti porselen, namun kadang kelakuanmu aneh, jiwamu rapuh, retak. Kukira kau adalah satu-satunya gading yang retak….