Berawal dari obrolan santai dalam talkshow bertajuk filoSufi yang diadakan oleh sahabat bentang pustaka kemaren sore di Jogjakarta, Telah hadir seorang tamu istimewa Gus Candra Malik, seorang seniman, budayawan dan sufi. Beliau datang dalam rangka acara ceramah dan kebetulan sedang mampir ke jogja bersama keluarga.
Berangkat dari tema bertajuk agama ramah dan rahmat beliau menuturkan bahwa sebenarnya penyebab dari maraknya radikalisasi dalam tubuh Islam ini sudah terbentuk dari sejak kecil. Betapa kita larut dalam ketidaksadaran yang ternyata itu lambat laut melahirkan kader-kader agamawan yang keras dan rigid. Pengajaran yang berbau radikalis ini telah merasuk ke sumsum sanubari pada anak-anak kita. Ini salah satu keprihatinan yang perlu diantisipasi mengingat edukasi terhadap anak itu amatlah perlu kehati-hatian dan yang paling utama memerlukan pembelajaran yang tepat, oleh karna menurut beliau pendidikan semacam itu (agama) ialah racun. Namun tidak sebagaimana racun dalam Marx, melainkan racun yang perlu diseleksi dan memberikan racun yang terbaik diantara racun yang ada. Memilih yang terbaik diantara yang baik karna ajaran agama tidak ada yang tidak baik.
Selektif dalam memberikan dosis ajaran agama ini perlu dijadikan perhatian pada orang tua kita, mengingat kehidupan zaman yang teramat kompleks yang semua disibukkan dengan dunia kerjanya masing-masing, perlu mengingat juga betapa pentingnya menjaga aset paling berharga di dunia yakni sang anak.
Selanjutnya seniman yang akrab dipanggil Gus Can ini menuturkan bahwa masa 1-5 tahun anak ialah masa emas (golden age), maka perkenalkanlah Allah sesederhana mungkin dan selembut mungkin. Tidak perlu sampai pada hal-hal yang terlalu imajinatif seperti halnya surge dan neraka, biarkanlah ia berkata “apa adanya” tentang Allah dalam baying imajinasi mereka dan sifati mereka dengan kasih sayang dan rasa syukur terhadap pemberian Nya atas segala sesuatu.
Lanjut ke dalam tema selanjutnya, yakni sedikit menyinggung mengenai tasawuf. Dalam pandangan Gus Can mensifati allah itu bukan dari AsmaNya namun itu kita bentuk sendiri. Dari pernyataan ini tentu perlu pemahaman yang lebih dalam terutama dalam bidang kajian sufistik dan penulis belum berada dalam kapasitas untuk membongkarnya.
Tuhan sebetulnya tidak kita miliki, lalu bagaimana? Tapi kita dimiliki oleh Tuhan, ujar Gus Can. saya kira ini benar-benar nilai sufi yang terpancar dari seorang sufi itu sendiri.
Berlanjut kepada permasalahan konflik yang sering kali terjadi di Indonesia dan dunia menurut beliau ini dikarenakan pemahaman yang kurang lebih kaku seperti disebutkan diatas. Ulama ialah ahli waris para Rasul, oleh karna itu sebagaimana tindak laku pewaris yang sering kali bersengketa mengenai warisan itu sendiri, sekejap pada audiens pun terbahak oleh guyonan segarnya. Namun bila kita melihat pada ranah fakta ya memang begitu adanya. Truith claim yang ada dikalangan para ahli waris itu seakan tiada akhirnya sampai pada titik politisasi agama. Berawal dari guyonan namun ini bukan sembarang guyonan menurut saya pribadi. Dalam konteks perbedaan baik itu beda agama atau beda aliran/mazhab, Biarlah perbedaan itu tetap ada karna itu sebuah keniscayaan. Namun begitu, tetap ada celah untuk memberikan suatu generasi masyarakat beragama yang bernuansa cinta dan kasih.
Manusia yang paling mengenal dirinyalah yang memiliki kedekatan tersendiri pada Tuhan. Man arafa nafsahu faqat arafa Rabbahu. Maknanya dari kutipan tersebut jelas bernilai sufistik sekaligus bernuansa arif, juga mengajarkan kita untuk berlaku arif pula. Ini yang seringkali luput dari pencarian seorang manusia modern.
Bersambung pada keprihatinan yang sudah pada level kronis ini, Agama, tetap masih bernafas. Namun begitu, Perlu adanya dekonstruksi pada level paling dini dalam pengajaran agama. Bahkan agama manapun. melihat diawal pada perkenalan cinta kasih pada anak-anak kita dan memberikan dosis yang terbaik dan sesuai kadarnya. Sederhana namun berdampak krusial. Ajaran filantropi agama yang esensial akan kasih sayang, perlu tertanam sejak dini, guna menjadikan agama yang bernuansa kasih sayang dan yang terpenting penuh dengan cinta, baik kepada manusia terlebih kepada Tuhanya. Tuhan tidak hanya milik Islam saja, namun milik siapa saja yang mengenalnya. Dan agama sebagai perantara menuju Tuhan.
Karna sejatinya Tuhanlah yang memiliki kita. Ujar seorang Sufi, Gus Can.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H