Mohon tunggu...
Hammad Mutawakkil
Hammad Mutawakkil Mohon Tunggu... -

Kuas cinta dalam tautan gores tinta digital ...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menakar Tolak Ukur Kemajuan Bangsa

1 Desember 2015   03:20 Diperbarui: 1 Desember 2015   03:34 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini tolak ukur kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada nilai dan nominal dalam jumlah angka dsb. Dalam skala peradaban saat ini manusia telah memutuskan modernitas sebagai tolak ukur kemajuannya. Pangkal dari segala gejala dan fenomena kemajuan atau pembangunan selalu dilihat dalam pencapaian fisik dan materi. Dunia saat ini sedang berlomba-lomba mengacu pada tingkat kemajuan yang demikian. Reinassance yang dianggap sebagai babak baru ilmu pengetahuan dan sebagai gerbang pintu kemajuan modern telah melahirkan berbagai kemajuan dalam berbagai bidang. Ilmu modern telah menghantarkan manusia pada peradaban yang sedemikian canggih. Idiom kehidupan saat ini sangat bergantung pada koneksitas teknologi yang mempercepat segala sesuatu dalam bentuk frekuensi satelit dsb. Bangsa manapun saya kira berkiblat pada titik ini tanpa terkecuali. Dalam lingkar dan bidang manapun titik keberangkatan mereka pada tingkat pengetahuan modern.

Bila berbicara mengenai peradaban, kemudian dimana titik kordinat dari tolak ukur peradaban bangsa Indonesia saat ini dan bagaimana tingkat kemajuan yang sudah dicapainya pada masa lalu yang belum banyak diteliti? Tulisan ini tidak berpretensi pada apapun dan tidak bermaksud apa-apa selain merenungkan ulang siapa sebenarnya kita bangsa Indonesia ini.

Tulisan ini tentu terlalu jauh dan miskin akan data yang menunjukkan betapa digdayanya kita dan betapa jayanya kita dimasa lalu, yang untuk sementara ini kita anggap sebagai romantisme saja. Metoda berfikir modern tentu tidak salah dan tidak berarti buruk sama sekali, karna itu sudah merupakan efek kausalitas kalau dalam bahasa ilmiahnya. Namun yang perlu disadari, pola kehidupan saat ini pun nampaknya mengacu pada puncak yang sedemikian ekstrim yakni materialisme yang akut. Telah terjadi berbagai konotasi dalam wacana kehidupan yang seakan disulap menjadi realita yang seolah-olah nampak seperti kenyataan yang sebenarnya. Saudara-saudaraku sekalian, bangsa ini telah mengalami fase yang panjang dan jangan berfikir bangsa ini ialah bangsa yang baru lahir tahun 45 kemarin. Sesadaran Nusantara saat ini kira kira sudah ada pada sekitar abad 13 kurang lebih pada kurun waktu kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Gajah Mada dengan sumpah palapanya. Namun data itu baru sementara yang menunjukkan siapa sebenarnya kita. Belum diketahui secara pasti bagaimana kehidupan puluhan ribu tahun yang lalu yang menunjukkan siapa kita sebenarnya dan pencapaian apa saja yang sudah dicapai manusia Nusantara pada masa silam.

Kembali pada garis modernitas, yang dikategorikan modern saat ini entah itu dalam bentuk metode dalam skala indivudi, lembaga atau institusi, bahkan sampai pada tingkat negara perlu diperhatikan mulai saat ini. Titik kordinat mana yang dipakai dan apa saja pencapaianya saat ini. Terutama dampaknya pada kehidupan kita saat ini. Sukses yang kita maksud saat ini ialah segala pencapaian yang berlandaskan materi dan merupakan kata benda. Salah satu contoh saat ini mengenai korupsi. Korupsi memang sangat panjang sejarahnya dalam peradaban umat manusia. Korupsi merupakan kata kerja yang dinamis dan bergerak terus menerus dalam diri manusia. Sederhananya korupsi merupakan sikap mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Bila ini dikaji secara zoom out maka sangatlah luas korupsi itu dan tentu sangat berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari mulai dari yang paling kecil sekalipun. Namun pada puncaknya saat ini korupsi menjadi kata benda yang kaku. Ia hanya berhenti pada pemaknaan benda, yakni uang dan segala bentuk materi yang lainya.

Bila ini diurut salah satu pangkalnya ialah pendidikan. Lalu bagaimana keadan pendidikan kita saat ini? Metode apa yang kita pakai dan berangkat dari titik mana pendidikan kita saat ini? Tentu ini perlu perenungan yang mendalam dan tidak hanya berhenti pada suatu perdebatan belaka. Artinya sangat diperlukan penelitian yang lebih lanjut dan berdialektika pada kondisi zaman.

Konsep untuk menentukan saat ini kurang lebihnya saya kira perlu berupaya keras dalam dialektika peradaban. Kuncinya ialah masa kini, masa depan, dan masa lampau. Saat ini dalam segala konsep kehidupan individu sampai bernegara kita berkiblat pada bangsa lain dan telah kita ikrarkan sebagai kiblatnya zaman ini. Tentu itu tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah, namun yang perlu direnungkan oleh kita masing-masing ialah bagaimana langkah selanjutnya dan menyikapi sebuah tantangan zaman. Tulisan ini belum benar-benar final sebagai hasil dari perenungan, namun hanya sebagai salah satu gerbang kesadaran siapa sesungguhnya kita sebagai bangsa Indonesia ini.

 

Singkat kata semoga bermanfaat dan menjadi bahan kecil pada perjalanan perenungan kita bagi yang bersedia merenungkan dan berdialektika dengan zaman..

Wassalam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun