Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan double windows dalam sistem perbankan, yaitu terdapat dua sistem perbankan yang berlaku: sistem perbankan konvensional di satu sisi dan sistem perbankan syariah di sisi lain. Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah mendapat respons yang positif dari berbagai kalangan. Ada yang beranggapan bahwa sistem perbankan syariah merupakan sistem alternatif, bahkan menjadi solusi terhadap sistem perbankan konvensional yang selama ini mendominasi dan berorientasi keuntungan belaka (profit oriented).
Tentunya respon semacam ini bisa dimaklumi, karena kelahiran perbankan syariah sendiri dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam: neo-revivalis dan modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang syamil (lengkap) dan kamil (sempurna), di mana seluruh aspek dan lini kehidupan manusia sudah diatur dalam Islam. Kalangan ini beranggapan bahwa Islam (baca: syariah) bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal.
Seiring dengan berjalannya waktu, melihat praktek yang ada selama ini, sebagian kalangan mulai meragukan, mempertanyakan, dan mengkritisi perbankan syariah, karena ada yang dianggap menyimpang bahkan keluar dari koridor syariah itu sendiri. Mulai dari yang mempertanyakan mengenai pelaksanaan produk-produk yang ada, transaksi-transaksi yang sering disiasati, ketidakpekaan bank syariah terhadap permasalahan sosial, sampai kepada anggapan bahwa perbankan syariah hanya sekadar “ganti baju”, yang ada di balik itu sebenarnya adalah kaum kapitalis.
Kritikan-kritikan semacam ini tentunya sangat diperlukan dalam hal untuk kemajuan perbankan syariah yang lebih baik, selama kritikan itu bersifat konstruktif dan ilmiah, bukan karena faktor benci (phobia), apalagi hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak mendasar.
Tulisan ini berawal dari “kegalauan intelektual” penulis rasakan, baik ketika mempelajari literatur-literatur mengenai perbankan syariah maupun pengalaman emprik ketika menjadi nasabah bank yang memakai sistem syariah. Tulisan ini tidak hendak menolak bank Islam dan bukan bermaksud memvonis bahwa perbankan syariah selama ini “tidak Islami”, melainkan ingin melihat, memperjelas, dan mengkritisi beberapa klaim-klaim ke-syari-an lembaga yang kini diidentikkan dengan Islam dari berbagai sudut. Benarkah bank syariah sudah beropersi sesuai dengan syariah?
Secara sederhana, perbankan syariah secara normatif bisa didefenisikan sebagai perbankan yang mendasarkan dirinya kepada al-Quran dan Sunah. Ada beberapa perbedaan- menurut para toritis dan praktisi- antara bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan itu adalah bahwa bank syariah non-ribawai (tidak menggunakan riba); bersifat kemitraan; akad produk-produk yang digunakan; dan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Atau dengan bahasanya Syafi’i Antonio, perbedaanya terletak pada aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
Dari sinilah kemudian kita bisa melihat apakah bank syariah konsisten dengan klaim mereka. Dan dari sini juga kita melihat ke-syari-an bank syariah sudah sesuai atau tidak dengan konsep awal dan nilai-nilai Islam itu sendiri. Di mana dalam ekonomi Islam –itu pun kalau kita sepakat dengan istilah “ekonomi Islam”, karena M. Dawam Rahardjo masih mempertanyakan apakah istilah yang yang tepat itu “ekonomi Islam” atau “ekonomi dalam Islam”– tidak hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata, tetapi harus bisa masuk kepada keadilan, kebahagian (al-falah), kemaslahatan, dan berdampak kepada sosial.
Yang pertama adalah klaim bahwa bank syariah itu non-ribawi, sementara bank konvensional adalah bank ribawi (menggunakan riba). Para teoritis dan praktisi bank syariah menyimpulkan bahwa bunga yang dipraktekkan perbankan konvensional itu adalah sama dengan riba yang diharamkan oleh al-Qur’an. Dengan alasan inilah kemudian, meraka berusaha mendirikan lembaga keungan yang bebas riba, yang wujudnya adalah institusi bank syariah. Dan melahirkan produk-produk pengganti bunga: mudharabah dan musyarakah, dua produk yang diasumsikan berdasar pada sitem bagi hasil (profit and loss sharing).
Dengan dua produk ini, bank beroperasi dengan bagi hasil dengan nasabah, bukan dengan sistem bunga. Kenyataannya, bank kemudian menyadari dua produk yang berbasis profit and loss sharing sulit diterapkan, karena risiko yang mungkin diterima oleh bank sangat tinggi, yang mengakibatkan bank syariah enggan menjalankan dua produk tersebut. Oleh sebab itu, bank syariah kemudian mencari “jalan lain”, dan menemukan apa yang di dalam fikih di sebut dengan murabahah, suatu model jual beli yang pihak pembeli –karena satu dan lain hal– tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa membeli dan mendapatkanya. Dalam proses ini, si perantara, dalam hal ini bank, biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya.
Mengapa bank syariah mengadopsi murobahah? Karena dengan murabahah nyaris risiko tidak ada. Dan ia pun menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-bank syariah, menduduki sampai 60-70 persen usaha bank, sementara dua produk tadi (musyarakah dan mudharabah) pemakaianya sangat minimal, hanya 30 bahkan sampai 0 persen.
Di sinilah kelihatan ketidakkonsistenan dan pergeseran dari bank syariah sebagai bank yang bersistem bagi hasil (sebagai pengganti dari sitem bunga) menjadi bank yang berorientasi mencari keuntungan (profit oriented). Wajar saja, kalau kemudian ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan bahwa bank syriah lama-lama terjebak kepada kapitalisme.