Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjalani Hidup di Atas Jembatan Kaca

22 September 2024   08:14 Diperbarui: 22 September 2024   08:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Kaca di Lereng Gunung Bromo/Dokpri

Dua hal yang mengiringi kehidupan adalah kesedihan dan ketakutan, sedih terhadap masa lalu yang kurang menguntungkan, dan takut terhadap masa depan yang penuh khayalan kegagalan. Namun penyebab-penyebab kegagalan selalu diulang, meski tahu hasil akhirnya, begitu pula ketakutan itu begitu kuat membayangi, meski belum tentu bayang kesedihan itu menjadi nyata.

Pernahkah anda melintasi jembatan kaca? atau paling tidak melihat jembatan kaca, tampaklah dari atas dasar atau kedalaman jarak dataran dengan jelas. Bagi merak yang suka tantangan dan mencoba hal baru, apalagi yang sedang viral, tidak pernah berpikir tentang sesuatu yang membahayakan di atas jembatan kata, rasa penasaran mengusir segala resiko, yang penting bisa menikmati dan mengabadikan dalam layar kamera.

Namun bagi merka yang memiliki rasa takut akan ketinggian, atau sedang trauma, perlu beribu kali berpikir dan meyakinkan diri, bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan, pun toh sudah banyak contoh para pengunjung bahagia setelah berhasil nongkrong di atas atasnya.  

Ketakutan menjadikan hasrat atau kemauan seseorang maju mundur, tarik ulur antara iya dan tidak, bukan berpikir tentang keharusan melakukan, tetapi resiko apa yang akan didapat setelah melaksanakan. lebih baik menyerah dengan keadaan, daripada berakhir konyol. Memang tampak beda yang memiliki tujuan dan kemauan, dengan nyali yang suram. Wajah ceriah dan gagah menghiasi wajah bagi mereka yang sedang berjuang menggapai tujuannya, sedang wajah kulit terlipat, pucat dan loyo menjadi pemandangan buram bagi mereka yang sedang membuktikan rasa takutnya.

Andai hidup seperti berjalan di atas jembatan kaca, tampaklah masa depan yang akan menjadi tujuan hidup, bagi mereka yang siap, dengan segala keriangannya berjalan santai, sekaan menyatakan "enak tenakn hidup ini, ayao ikuti aku semuanya baik-baik saja", ucapan lantang bahkan memprovokasi orang-orang untuk menikmati hidup seperti apa yang dialakukan dan diarasakan.

Bagi mereka yang mengetahui bahwa masa depan (gambaran dalamnya dasar jembatan), agar merasa aman, karena berpikir logis dan kritis, bahwa pembuatan jembatan sudah dipikirkan kualitas bahan, cara pengertjaan dan ketinggiaannya, secara matematis semua berjalan lancar, kecuali hadir keadaan yang tidak diinginkan atau di luar kebdali manusia, seperti bencana alam, badai dan lainnya.

Orang yang mengatahui bahwa kehidupan atau masa depannya akan menyenangkan, tentu menularkan virus ini kepada semua orang dan mengatakan bahwa menjalani hidup, di samping memahami situasi dan kondisi, juga perlu diperhatikan kekuatan perjuangan, "hidup harus diperjuangkan".

Orang-orang yang takut atas bayangan kesedihan atau kegagalan, lebih cenderung bergantung dengan orang lain, di tepi jembatan kaca, mereka lebih sering mengintip kedalaman, daripada memandang di ujung jembatan, mereka lebih nyaman ketika berpegangan dengan orang yang di sampingnya, dan memberikan kode "berada di samping saja, semuanya akan baik", ketakutan terusir sementara karena ada sandaran dan pegangan dari rasa khawatir.

Apakah kemudian mereka yang takut dan memaksakan terus melanjutkan perjalanan untuk menyeberangi jembatan kaca, memiliki kemerdekaan jiwa? tentu saja tidak, hidup dan rasa bahagianya bergantung kepada orang lain. Sesuatu yang selalu bergantung, tidak memiliki keleluasaan tindakan, berasal dari ketergantungan menentukan sikap. 

Andai saja pengetahuan kita tentang bahaya dan resiko kegagalan dalam hidup diyakini dan dicarikan solusi untuk tetap mendapatkan kebahagiaan, maka sikap berhati-hati, tidak serampangan dalam melakukan sesuatu, tanpa harus memantik kejahatan atau usil kepada kehidupan orang lain, tentu keselamatan itu akan mendominasi kehidupannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun