Menjadi orangtua adalah bagian yang harus ditanggung sebagai akibat pernikahan, lahirlah buah hati, sebagai penerus keturunan dan mengabadikan amal kebaikan.
Namun disadari ternyata menjadi orangtua jauh lebih sulit, daripada harus menjadi suami atau istri, kehadiran anak dipandang sebagai pihak ketiga, bisa menambah bahagia, juga bisa mengurangi bahagia.
Menjadi orangtua membutuhkan energi materi yang cukup dan energi psikologi yang selalu terbarukan, agar tidak disaingi atau terebut oleh pihak lain yaitu guru, teman, lingkungan dan permainan.
MEMINDAHKAN ISI KEPALA
Kegagalan terbesar menjadi orangtua, ketika sang anak diharapkan menjadi daur ulang dirinya, mengejar kegagalan cita-citanya, dan membuang riwayat kelam serta menjadi manusia lebih baik, tanpa mengetahui potensi anak.
Para orangtua lebih melihat ke dalam dirinya, dengan segala keunikan yang dimiliki, namun tidak mau melihat atau mengakui bahwa anak juga memiliki keunikan seperti orangtua. Sehingga perlu mendapatkan perlakuan khusus, agar anak tumbuh berkembang menjadi dirinya sendiri.
Bahaya, bila orangtua harus memaksakan kehendaknya kepada anak. Setiap manusia memiliki daya juang dan pengetahuan yang berbeda, sehingga bila ada perbedaan kehendak yang berasal dari luar bisa menjadikan kebimbangan sikap dan tindakan. Anak menjadi gamang dalam melakukan sesuatu, mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendaki, menjalankan yang tidak disenangi.
Akibatnya anak dan orangtua mengalami hambatan komunikasi, baik verbal ataupun non verbal, anak-anak menahan rasa karena kalah kuasa, dan orangtua memaksa karena merasa berkuasa.
Kondisi main kuasa inilah, membuat anak merasa tidak menjadi bagian dalam keluarganya, selalu menurutkan kata orangtua dan orangtua menganggap anak tidak tahu dan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa instruksi dari orangtuanya.