Masih pagi, belum ada yang bersiap berangkat kerja, tidak ada yang bersih diri, hanya ngobrol dan bergerombol di ruang keluarga, dekat dapur dan langsung berhadapan dengan taman di depan kamar mandi.
Tiba-tiba anak sulungnya datang, "pagi bu, bapak dan adik" Â sapanya tanpa ekspresi. "dari mana atau mau ke mana " tanya sang ibu penuh perhatian dan tatap matanya difokuskan. Tampaknya si sulung dari rumah hendak beli sarapan, melihat rumah ortunya terbuka si sulung menyempatkan diri mampir.
"Mas, ibu bisa minta tolong belikan telur di warung mak rah, sekaliam kamu beli sarapan" Â pinta sang ibu kepada anaknya. "Maaf bu, aku mau beli sarapan dekat kolam renang, jadi arahnya berbeda, lagian waktuku terbatas, aku harus bertemu klien"
Sirnalah harapan orang tua, walau kejengkelannya tidak ditampakan, atau membuka perdebatan dengan anaknya, wakau sang ibu tahu kalau dikerjakan semuanya masih banyak sisa waktu.
Orang tua terhadap apa yang dilakukan oleh anak-anaknya tak kqn banyak protes, orang tua lebih mudah memahami dari pada harus memaksa.
Beda dengan perlakukan anak kepada orang tuabya, ada kalanya memaksa, bahkan mengintimidasi atau mengancam bila apa yang diharapkan dari orang tuanya tidak dikabulkan.
Kontra komunilasi abak dengan orang tua banyak dan sering terjadi dalam kehiduoan, bahkan ada yang menkadi tontonan publik.Â
Pertanyaannya mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Kawabnya adalah ada pada kesenjangan usia tidak dibarengi dengan kematangan emosi. Anak-anak merasa mampu berdikari dan mandiri, sehingha sebagian berpresepsi tidak lagi membutuhkan orang tua terlebih ekonomi dan status sosial anak lebih tinggi.
Sementara orang tua, seperti padi kian kuning semakin merunduk, mengelus dada dan menghela napas bila mendapati anak anak beroerilaku tidak sesuai harapan.Â
Akankah hal ini dibiarkan dan berkelanjutan hingga tidak lagi tertanan sebutir empati, atau lebih dalam lagi adalah perasaan ikatan sebagai anak yang lair dan dibesarkan oleh orang tua.