Dua hari yang lalu, saya diberi kesempatan untuk mengajar di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) tingkat SMP yang ada di Purwokerto. Ini adalah pengalaman baru bertemu dengan anak-anak yang istimewa. Sebab biasanya mengajar anak-anak normal seperti pada umumnya, tapi kali ini benar-benar bertemu dengan anak-anak luar biasa. Pertama kali menginjakkan kaki kanan di dalam ruang kelas, sontak saya langsung terdiam dan dikejutkan dengan berbagai perilaku setiap anak yang memiliki keterbelakangan mental berbeda-beda. Di sana, saya banyak sekali menemukan anak-anak istimewa. Namun, saya hanya akan bercerita tentang tiga anak istimewa.
Pertama, cerita tentang si Joy.
Pagi itu, susasana kelas mendak riuh.
“Joy, sakit tau?” teriak dimas kesakitan.
“Joy, yang baik ya? Ayo segera minta maaf dan bersalaman sama Dimas?” perintahku pada si Joy.
“Ah, mending aku pulang saja, Kak!” jawab si Joy penuh emosi.
“Ya, sudah Joy duduk di sebelah sini dulu ya. Tapi jangan memukul temannya lagi ya. Coba kalau Joy yang dipukul bagaimana rasanya? Sakit, kan?” ucapku yang sedikit bingung berusaha melerai anak istimewa itu.
“Iya, Kak.”
Joy adalah anak laki-laki berusia 11 tahun. Ia didiagnosis mengalami keterbelakangan mental sulit mengontrol emosi dan suka memukul teman-temannya setiap hari. Hal yang menarik untuk disimak dari kisah Joy adalah sejak berusia empat tahun ia memang berbeda dari kebanyakan anak seusianya.