Mendekati pukul sepuluh siang, saya yang sebenarnya sedang kurang fit, memaksakan diri mengendarai motor untuk menjemput pacar di Universitas Diponegoro sana. Perjalanan dari kost-an saya sekira tiga puluh empat menit saja, jika tidak macet. Jika macet mungkin tambah tujuh menit. Dengan mata yang ndluyup, istilah lain dari capeknya mata akibat pekerjaan dan kondisi badan yang ngedrop - saya sampai di kos pacar.
Melihat wajah pacar yang tidak cantik-cantik amat, sekilas menjadi penyembuh rasa lelah. Siang itu, saya telah berjanji untuk mengantar pacar ke kampung halamannya di kota sebelah yang jika dilalui dengan kendaraan roda dua, maka dapat ditempuh paling cepat satu jam tiga puluh menit.
Perjalanan di akhir pekan di Kota Semarang, sudah tentu padat. Banyak pekerja dan anak kuliah pulang ke kampung halamannya termasuk kami. Terlebih lagi, sedang ada kegiatan perbaikan jalan raya di daerah Jrakah. Kawasan industri yang terkenal padat dan rawan macet, semakin horor saja kroditnya.
Sang ibu menyambut kami dengan dua gelas es teh dan beberapa potong bakwan sayur. Di depan rumahnya memang berjualan aneka masakan. Terkadang pacar saya juga membantu jika sedang libur. Bisa dibilang, pacar saya adalah pekerja keras yang senantiasa berbakti kepada orang tuanya. Bisa berkuliah alhamdulillah, bisa nambah uang, nambah alhamdulillah.
Kurang lebih hanya tiga jam saja kami beristirahat karena sore itu pula kami harus ke Yogyakarta, dalam rangka menghadiri acara saudara pacar saya. Sebenarnya saya masih ingin beristirahat dan ingin dikerokin. Tapi kelihatannya waktu belum memungkinkan.
Menuju Yogyakarta
Perjalanan dari Weleri menuju Yogyakarta bisa ditempuh dengan jalan alternatif via Parakan, Temanggung. Selama perjalanan, kami menjumpai beberapa ruas jalan yang longsor.
Teriak beberapa pemuda kampung setempat sembari membawa cething-- bakul nasi plastik - Â dan siap menerima imbalan recehan dari pengguna jalan yang merasa terbantu. Karena ada jalan yang ambles, keberadaan tukang 'ayo-ayo' ini menjadi sangat berarti. Coba jika tidak ada mereka, mungkin pengguna jalan akan terperosok dan jatuh ke dalam lembah duka..
"Tuh kan terbukti, modal ayo -- ayo aja udah bisa dapat uang"
Celoteh pacar saya dari belakang jok sepeda motor.
"hahaha... Bisa saja kamu ini"
Jawab saya yang merasa terhibur.
Empat jam sudah kami berjibaku melibas jalanan yang kasar dan meliuk-liuk. Sesekali kami hanya berhenti beristirahat makan, shalat ataupun pipis. Dan pada akhirnya hari sudah mulai gelap saat kami sampai di Yogyakarta.
"Endi omahe om iwan, non?" (Mana rumahnya om iwan, non?) tanya saya kepada Nona.
"Jl. HOS Cokro. Yang jualan bakpia" Jawabnya
**
Malam minggu di Jogja, bagi sebagian besar orang pasti terdengar asik dan mengasikkan. Benarkah demikian?
Setelah makan bareng dengan ikan asap yang kami bawa dari Kendal, kami berdua bersama Boy dan Aming terlibat pembicaraan yang ngalor ngidul. Akhirnya kami putuskan untuk jalan-jalan saja daripada pembicaraan meluas menjadi ngetan ngulon.
Pertama kami datang ke Alun-alun Kidul dan naik odong-odong dewasa. Selanjutnya lanjut minum kopi joss di sekitaran Stasiun Tugu. Boy yang berbadan gendut, seakan memperlihatkan selera makannya yang benar-benar rakus. Meski sudah makan berat dan ngemil aneka jajanan, jam satu dini hari ia masih merengek minta ditemenin beli mie godog dekat rumah om Iwan.
Ngedrop di Tengah Jalan
Selamat pagi Kota Jogja, pagi ini saya malas sekali bangun karena masih sangat ngantuk. Suasana hati saya juga kurang enak, entah mengapa mungkin karena akhir-akhir ini pacar saya sedang sibuk dengan kuliahnya sehingga waktu kebersamaan kami mulai berkurang. Yang saya herankan, dalam keadaan yang demikian, ia justru semakin jarang membalas pesan saya. Ah, mbuh lah mending kami segera mandi dan persiapan untuk pulang.
Perjalanan dari Jogja menuju kembali ke Kendal sungguh sebuah perjalanan yang sangat tidak enak. Badan saya mungkin mulai protes karena saya paksa beraktivitas terus menerus. Kepala saya mulai nyut-nyutan dan saya mulai merasakan kedinginan. Dengan meninggalkan segala kejantanan dan kehormatan, Nona saya suruh berada di depan mengemudikan motor dan saya ingin tidur. Ya tidur, pemirsa. Itung-itung emansipasi wanita, lah ya.
Di Temanggung, saya benar-benar ingin merebahkan badan. Kami menghampiri penjual es degan yang ada di sekitar jembatan Kranggan, pesan es degan dan saya pun tiduran di balai-balai yang tersedia.
Perjalanan dilanjutkan dan saya terus terang bilang kepada pacar saya kalau saya tidak kuat lagi mengantarnya sampai ke rumah. Begitu sampai di Kota Ngadirejo, ia saya beri uang untuk naik bis lanjut ke rumah sementara saya akan kembali ke Muntilan, ke rumah orang tua saya. Tetapi badan saya berkata lain. Kondisi cuaca yang gerimis, badan yang mulai menggigil, memaksa saya untuk beristirahat. Saya pun akhirnya terpaksa tidur di sebuah masjid.
Sesampainya di rumah, emak merasa sangat khawatir atas kondisi saya. Maklum saya adalah anak satu-satunya. Ia lalu membuatkan saya teh panas, dan setelah mandi saya langsung dikerokin.
"Alhamdulillah udah baikan.. Habis dikerokin nih.." Balas saya.
Nah, dikit-dikit jangan minum obat. Kalau hanya masuk angin atau sakit kepala, kerokan dulu saja lah. Â Sambil dikerok, sambil melepaskan hormon endorphin yang membuat jiwa semakin rileks. Kini, Balsem Lang selalu saya sediakan dan saya masukkan ke dalam ransel kemana saya pergi. Terimakasih Balsem Lang.