Mohon tunggu...
Hamid Affandi Anwar
Hamid Affandi Anwar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Saya adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Derita di Tengah Lautan : Eksploitasi Pekerja Migran Indonesia di Kapal Perikanan Asing

22 Januari 2025   17:14 Diperbarui: 22 Januari 2025   17:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berapa harga sebuah kebebasan? Bagi pekerja migran Indonesia di kapal perikanan asing, kebebasan mereka terenggut dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi. Janji gaji tinggi dan kondisi kerja yang layak sering menjadi alasan bagi pekerja migran Indonesia untuk bekerja di kapal perikanan asing. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbanding terbalik, dengan adanya eksploitasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi tantangan utama. Kasus kapal Long Xing 629 milik China yang mulai berlayar sekitar tahun 2019-2020 menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan hukum nasional dan internasional serta praktik perekrutan yang tidak transparan. Kapal Long Xing 629 merupakan sebuah sebuah kapal penangkap ikan milik perusahaan China yang dimana para ABK yang bekerja disana bekerja selama 18 jam dalam waktu 24 jam, upah yang mereka dapatkan juga tidak sesuai, dan mereka mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya. Situasi ini menuntut perhatian serius dari komunitas internasional untuk melindungi hak-hak pekerja migran dan memastikan keadilan.

 

Indonesia sendiri sebagai salah satu negara penyumbang tenaga kerja maritim terbesar ketiga di dunia, dengan sekitar 1,4 juta ABK yang bekerja di kapal dengan bendera asing. Meski demikian, ABK asal Indonesia masih menghadapi kerentanan terhadap berbagai bentuk eksploitasi. Berdasarkan UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, ABK termasuk dalam kategori pekerja migran yang berhak atas perlindungan hukum. Sebelum penempatan, mereka diwajibkan memiliki dokumen resmi seperti perjanjian kerja laut dan kartu tenaga kerja luar negeri.

Di tingkat internasional, International Labour Organization (ILO) membuat perjanjian internasional dengan tujuan untuk memajukan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan hak buruh. Namun, realitas menunjukkan beberapa  pelanggaran terjadi. Bahkan hingga saat ini, banyak laporan mengenai kekerasan, diskriminasi, perdagangan manusia, dan pelanggaran hak terus bermunculan. Praktik-praktik ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan implementasi hukum, seperti terlihat pada kasus kapal Long Xing 629, yang mengungkap perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK Indonesia di kapal perikanan asing.

 

Kasus-kasus eksploitasi, seperti yang terjadi  pada kapal Long Xing 629, menggarisbawahi bagaimana lemahnya implementasi hak asasi manusia yang dapat merugikan pekerja migran. Meskipun undang-undang telah mengatur hak-hak ABK, banyak dari mereka yang tetap terjebak dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi, mencerminkan ketidakadilan struktural dalam hubungan kerja lintas negara. Contoh kasus lain yang menunjukkan kelemahan implementasi hak yang sepatutnya di dapat oleh ABK, sejumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal Taiwan mengalami eksploitasi finansial, yang dimana para ABK tersebut tidak mendapat gaji yang utuh. Kasus ini menunjukkan bahwa ada banyak ABK direkrut dengan janji pekerjaan layak, namun kenyataannya mereka menghadapi jam kerja yang ekstrem, lingkungan kerja berbahaya, dan upah yang sering kali tidak dibayar penuh.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerbitkan beberapa regulasi , seperti UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran serta adanya upaya Kemenhub untuk memfasilitasi penyerahan asuransi jiwa kepada ahli waris ABK. Di tingkat internasional, ada konvensi ILO No. 29 yang membahas tentang kerja paksa, konvensi ini telah diratifikasi oleh beberapa negara termasuk Indonesia, hasil ratifikasi selanjutnya diimplementasikan menjadi UU No.19 tahun 1999 yang ditetapkan pada 7 Mei 1999.

Selain adanya beberapa regulasi atau aturan yang ditunjukkan untuk mengatur dan mencegah adanya kasus eksploitasi. Tetap diperlukan adanya langkah nyata seperti peningkatan pengawasan melalui teknologi satelit, kerjasama multilateral untuk memastikan akuntabilitas perusahaan, serta pemberian sanksi tegas terhadap agen perekrutan yang terlibat dalam praktik ilegal. Langkah-langkah ini penting untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja migran.

Namun, terlepas dari pentingnya langkah-langkah tersebut, masih ada pandangan yang mempertanyakan urgensi penanganan kasus eksploitasi ini. Pada masa itu, sebagian pihak masih berpendapat bahwa ABK Indonesia bekerja secara sukarela demi penghasilan yang lebih baik, sehingga kondisi kerja yang berat dianggap sebagai konsekuensi yang mereka terima dengan sadar. Akan tetapi pandangan ini tidak sepenuhnya mencerminkan realitas kompleks yang dihadapi para ABK.

Anggapan bahwa eksploitasi ABK hanyalah kasus kecil tidak sejalan dengan fakta. Berbagai laporan menunjukkan bahwa masalah ini meluas dan melibatkan banyak kapal berbendera asing, seperti yang terlihat dalam kasus Long Xing 629. Meskipun pada masa itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan perlindungan, seperti UU No. 18 tahun 2017, meratifikasi konvensi ILO, serta melakukan diplomasi dan penyelidikan, hasilnya masih belum signifikan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu masih lemahnya pengawasan di lapangan, kurangnya koordinasi antar instansi, serta hambatan dalam menegakkan hukum di wilayah yurisdiksi asing.

Ketakutan bahwa pengungkapan kasus eksploitasi dapat merusak hubungan diplomatik juga sering menjadi kendala. Namun, penegakkan hak asasi manusia justru dapat menjadi landasan yang memperkuat hubungan internasional. Dengan menunjukkan komitmen terhadap keadilan dan perlindungan pekerja migran, Indonesia dapat meningkatkan reputasinya di mata dunia sekaligus menciptakan perubahan positif bagi ABK. Kolaborasi internasional, transparansi dalam praktik perekrutan, dan peningkatan pengawasan merupakan langkah penting yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun