Mohon tunggu...
hamidaamri
hamidaamri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka membaca dan menyelami berbagai cerita, baik serius maupun lucu. Kepribadian saya santai dan humoris, dengan ketertarikan pada topik-topik ringan seperti anekdot sehari-hari atau fakta unik yang bisa membuat kita tersenyum. Bagi saya, tawa adalah cara terbaik menikmati hidup!

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kekerasan psikis dalam rumah tangga

31 Desember 2024   18:04 Diperbarui: 31 Desember 2024   18:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Kekerasan psikis dalam rumah tangga sering kali dianggap sebagai hal wajar atau sekadar "bumbu" pernikahan, sehingga sulit cenderung diabaikan oleh pihak luar. Padahal, Tindakan ini tidak hanya menyisakan luka emosional yang mendalam, tetapi juga berpotensi berkembang menjadi bentuk kekerasan lain yang lebih serius.

Perselingkuhan bukan hanya mengkhianati kepercayaan, tetapi juga menyebabkan kekerasan psikis seperti penghianatan, penghinaan, dan perasaan tidak berharga. Banyak perselingkuhan terjadi akibat komunikasi buruk, ego, dan emosi yang tidak stabil. Kekerasan psikis yang ditimbulkan sering lebih merusak daripada fisik, menghancurkan harga diri korban, dan meninggalkan trauma. Isu ini mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pihak berwenang.

Kekerasan psikis dalam rumah tangga sering kali tidak disadari dan dianggap biasa, padahal dampaknya bisa lebih menghancurkan daripada kekerasan fisik. Bentuknya termasuk penghinaan, manipulasi emosional, kontrol berlebihan, dan ancaman, yang merusak kesehatan mental dan emosional pasangan. Karena sering tersembunyi, korban sering merasa malu atau takut mengungkapkannya, meskipun dampaknya besar bagi individu dan hubungan itu sendiri.
Contoh yang terjadi dalam beberapa kasus perselingkuhan di Indonesia, seperti yang melibatkan Andrew Andika dan Tengku Dewi Putri, serta Kurnia Meiga dan Azhiera Adzka Fathir, menunjukkan bagaimana kekerasan psikis bisa menjadi faktor pendorong utama. Dalam kasus Andrew Andika, dia merasa kurang mendapat perhatian dari istrinya karena kesibukan masing-masing, yang menciptakan jarak emosional yang cukup besar antara mereka. Kekurangan perhatian dan komunikasi ini akhirnya mendorongnya untuk mencari penghiburan di luar pernikahannya, yang berujung pada perselingkuhan. Meskipun bukan bentuk kekerasan fisik, perasaan diabaikan dan tidak dihargai adalah bentuk kekerasan psikis yang dapat menggerogoti hubungan dan menyebabkan kerusakan yang dalam.
Begitu juga dengan kasus Kurnia Meiga dan Azhiera Adzka Fathir, di mana konflik rumah tangga yang berlarut-larut dan ketidakharmonisan menjadi celah yang memungkinkan terjadinya perselingkuhan. Ketika pasangan merasa emosional mereka tidak dihargai atau dipahami, mereka sering mencari cara untuk mengatasi rasa kecewa tersebut, yang pada akhirnya dapat melibatkan orang ketiga. Pada titik ini, bukan hanya hubungan fisik yang terganggu, tetapi juga hubungan emosional yang sudah terpecah akibat ketidakmampuan berkomunikasi dan mengelola konflik dengan sehat.
Menurut Nasiruddin kekerasan suami terhadap istri itu bertentangan dengan prinsip keadilan dan cinta kasih dalam pernikahan menurut islam. Didalam alQur'an dijelaskan dalam surat An-Nisa' ayat 34;
     
Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Dalil ini mengajarkan bahwa suami harus menjadi pelindung bagi istri, memberikan nafkah dan perlindungan, serta tidak mengabaikan atau mencari wanita lain jika istri telah taat. Sebaliknya, jika istri tidak patuh, suami berhak menasehati dengan cara yang lembut, bukan keras, karena cara yang kasar dapat berdampak buruk, termasuk pada anak-anak. Kekerasan rumah tangga bisa mengganggu perkembangan anak, membuat mereka takut, cemas, dan terjerumus dalam perilaku negatif karena kurangnya kasih sayang dan perhatian.

Kekerasan psikis dalam rumah tangga, terutama akibat perselingkuhan, dapat merusak harga diri, meninggalkan trauma, dan merusak hubungan emosional. Kasus seperti yang melibatkan Andrew Andika dan Kurnia Meiga menunjukkan bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi buruk dapat memicu perselingkuhan. Dalam perspektif agama, suami diharapkan melindungi istri dengan cinta kasih dan keadilan. Kekerasan ini tidak hanya merugikan pasangan, tetapi juga berdampak negatif pada anak-anak, yang bisa mengalami stres dan perilaku buruk. Oleh karena itu, penting menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat demi kesejahteraan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun