Sekolah dan warga sekitarnya seharusnya memiliki tujuan yang sama dalam mendidik siswa. Dengan adanya kolaborasi inilah pembelajaran akan berjalan lancar. Namun sayangnya, masih jamak kita lihat lingkungan sekitar sekolah yang tak mendukung kebijakan sekolah sendiri, hal inilah yang dijadikan celah bagi para siswa untuk tak ikuti aturan yang ada.
Sekolah yang membuat aturan agar para siswa disiplin akhirnya dianggap seperti penjara bagi para siswanya sendiri. Sedangkan lingkungan sekitar sekolah dianggap seperti surga bagi kebanyakan siswa karena berikan solusi dari ketatnya aturan pihak sekolah.
Akhirnya muncullah kesenjangan antara pihak sekolah dan warga di sekitar nya, yang kadang akan menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini sangat di sayangkan, karena pihak sekolah dan lingkungan bisa berjalan seirama malah menjadi konflik yang jelas rugikan pembelajaran siswa.
Maka tak jarang kita lihat ada beberapa anak yang menjadi kan rumah tetangga sebagai rumah ketiga, hal ini termasuk warung atau toko sekitar sekolah. Sambil menyelam minum air, mungkin itu peribahasa yang di pakai warga sekitar sekolah. Sambil membantu siswa karena ketatnya peraturan dan rasa kasihan mereka, tak jarang sekalian warga dapat keuntungan lewat berjualan.
Berikut beberapa peraturan yang ditegakkan di sekolah namun bocor di tangan warga sekitar sekolah sendiri, khususnya bagi siswa SMA :
Pertama, Larangan membawa motor bagi yang belum memiliki SIM. Aturan ini memang ditegakkan untuk kepentingan siswa sendiri, dimana siswa yang belum memiliki SIM berarti melanggar peraturan lalu lintas. Apalagi di usia yang masih labil, siswa sangat rentan mengalami kecelakaan di jalan raya. Hal ini juga sudah diingatkan pihak kepolisian terdekat akan penting nya safety riding dan membawa SIM saat berkendara.
Dengan semua pertimbangan itulah, sekolah melarang siswa nya membawa motor ke sekolah, kecuali sudah mempunyai SIM. Sayangnya ada lubang yang menganga dengan peraturan ini. Apa itu ? warga sekitar sekolah, entah karena belum mendapat sosialisasi atau memang melihat peluang. Banyak rumah dan halaman warga yang dijadikan tempat parkir sementara. Sehingga siswa yang belum mempunyai SIM, tetap bisa bersepeda motor tanpa takut di hukum sekolah. Masalah kena razia polisi itu resiko ditanggung sendiri.
Jelas hal ini membuat peraturan sekolah menjadi tak efektif, malah terkesan pihak sekolah seakan cuci tangan akan pelanggaran ini. Buktinya praktik parkir di rumah warga berjalan lancar dari tahun ke tahun.
Kedua, Larangan merokok di sekolah. Aturan ini semakin ketat, karena sekarang tak hanya siswa, guru pun diharapakan tidak merokok di sekolah. Kata tidak di sini bisa diartikan tidak dilihat atau di depan siswa, jadi jika tak ada siswa bolehlah merokok di sekolah.
Hampir sama dengan masalah motor tadi, namun tak sebanyak itu. Hanya beberapa pihak warga yang membandel dengan tetap menjual rokok kepada siswa dengan sembunyi-sembunyi pula. Bahkan tak jarang warung atau toko disekitar sekolah memberikan tempat khusus agar si siswa tak ketahuan gurunya. Hal ini sungguh disayangkan, namun beberapa sekolah sudah banyak yang bersosialisasi tentang masalah ini.
Ketiga, peraturan kantin sehat. Sekolah dan dinas kesehatan melalui puskesmas terdekat biasanya merancang kantin sehat. Dimana di dalam kantin tersebut tidak boleh ada bahan makanan yang mengandung pengawet, pewarna, penyedap, pemanis dan pengental makanan. Serta dilarang menggunakan bungkus yang tak ramah lingkungan, plastik misalnya yang baru terurai setelah puluhan tahun.