Detik - detik pergantian Presiden Indonesia semakin mendekat. Beberapa nama diisukan bakal muncul dalam pencalonan. Terlepas, apakah kemungkinan pencalonan itu benar - benar terjadi atau tidak. Salah satunya yang sangat menarik perhatian masyarakat saat ini adalah munculnya nama tokoh musisi Indonesia, Raja Dangdut H Rhoma Irama.
Berlatar belakang seorang musisi dangdut sekaligus merangkap sebagai seorang dai, beliau akan muncul dalam pameran pemilu raya nanti. Pro kontra bermunculan terkait kemunculannya. Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan diantaranya adalah dimana masalahnya seorang musisi dangdut mencalonkan presiden? Pada prinsipnya, tidak ada masalah. Jelas. Masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa mencalonkan presiden RI merupakan hak semua lapisan bangsa tentu memandang bahwa Rhoma Irama mencalonkan diri sebagai Presiden tidak ada masalah dan tentu sah - sah saja. Sebab hal itu merupakan bagian dari upaya memanfaatkan haknya. Jika toh kemudian timbul pro kontra, hal itu berangkat dari –lebih sebatas- masalah persepsi dan paradigma.
Hanya saja yang kemudian perlu dan sangat urgen untuk menjadi perhatian dan fokus utama adalah terkait potensi sang calon dalam memimpin. Lebih dari itu, kapabilitas dan kredibilitas juga mutlak diperlukan. Mengingat kepemimpinan dalam suatu negara membawa tanggung jawab atas nasib bangsa dan nasib negara itu sendiri.
Antara Pentas Musik dan Pentas Politik
Pentas musik memang berbeda dengan pentas politik. Tetapi bukan berarti seorang musisi lantas kita klaim tidak boleh masuk ke pentas politik. Pentas politik harus terbuka dan tetap memberikan kesempatan yang sama kepada semua warganya dalam mencalonkan dirinya sebagai presiden. Lebih – lebih jika sang calon merupakan representatif dari aspirasi masyarakat yang secara langsung atau tidak mereka suarakan. Hanya saja, seorang musisi atau siapa pun yang akan mencalonkan diri sebagai pemimpin untuk bangsa dan negara ini, mestinya menyadari amanat dan beban yang akan ditanggungnya. Dan yang terpenting mampu membaca kemampuannya sendiri dalam memimpin.
Kepemimpinan bukan saja masalah keahlian atau bakat internal seorang individu, tetapi juga masalah wawasan, keagamaan dan penguasaan berbagai disiplin keilmuan, terutama soal sosial, politik, budaya dan kemasyarakatan. Pentas politik yang jelas – jelas berbeda dengan pentas musik, hampir tidak memerlukan keindahan tarian, lagu dan syair. Tetapi korelasi antara politik dan musik juga dapat didekatkan dengan pengertian, bahwa antara musik dan politik sama – sama bertujuan untuk memberikan kebahagiaan kepada masyarakat.
Sebagaimana perbedaan karakter keduanya, pentas musik bermaksud memberikan kebahagiaan (baca: menghibur) melalui jalur lantunan lagu, musik dan suara indah mendayu, berbalik dengan itu pentas politik justeru tidak memerlukan semua itu. Sepanjang sejarah memang belum pernah ada seorang presiden manggung untuk mendendangkan musik. Jika Rhoma Irama benar – benar mencalonkan diri sebagai presiden RI, dan mungkin terpilih nantinya, masyarakat pun sudah pasti yakin dan mengerti bahwa pentas politik bukan pentas musik. Artinya, tidak perlu mengkhawatirkan bahwa dengan tampilnya beliau menjadi presiden pertanda pentas politik akan menjadi pentas musik.
Menjadi bias, jika nanti ada sebagian masyarakat yang rindu dengan pesan moral beliau melalui lagu. Pernyataan ini bukan prasyarat yang akan membatasi untuk beliau menjadi presiden. Tetapi lebih sebatas penilaian sesaat dalam rangka masuk pada pandangan publik dalam etika politik. Membutuhkan pandangan baru di tengah – tengah masyarakat bahwa presiden boleh menghibur rakyat dengan dendang lagu. Musisi menjadi presiden, kenapa tidak? Toh sebenarnya, sama dengan seorang dosen, guru besar, pakar hukum, ahli agama menjadi presiden. Musisi, dosen, guru besar, pakar hukum, ahli agama, dan lain sebagainya hanya peran karir keseharian yang kebetulan itu menjadi spesialisasinya sebelum berniat mengabdikan dirinya dalam kancah perpolitikan.
Sisi kredibilitas dan kapabilitas Rhoma Irama tentu memungkinkan. Beliau merupakan seorang musisi yang sekaligus dai. Nama beliau sangat membumi dan begitu dekat dengan masyarakat. Tetapi kedekatan itu jelas merupakan kedekatan seorang pendengar nasehat dengan penasehatnya (dai). Kedekatan seorang penggemar musik dengan musik – musiknya. Atau kedekatan seorang penggemar musisi dengan musisinyayang didasarkan atas kesukaan kepada kesyahduan syair, keindahan pesan moral, dan indahnya lantunan lagu. Walau pun memang, perlu diakui bahwa nama beliau yang sangat familiar dengan masyarakat merupakan kekuatan yang sangat potensial.
Alhasil, sepenuhnya pilihan berada di tangan masyarakat. Sekali pun campur tangan politisi untuk saling bersaing satu sama lain turut menentukan hasil akhir. Wallahu a’lam apakah kemudian seorang pilihan masyarakat ternyata tidak seperti harapan mereka. Ikhtiar dan prediksi atas berbagai tanda dan kemungkinan boleh dilakukan. Selama tidak menuduh dan membangun informasi distorsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H