Melayang di udara. Capung berkerumun. Tapi mereka tak bermasker. Sekali dua bercengkrama. Memadu kasih. Tanpa malu kepadaku. Selepas itu menari kembali bersama semilir angin. Mereka tak cuci tangan. Tidak ada sabun atau hand sanitizer. Mereka tak kenal korona. Lama-lama aku ingin menjadi Capung.
Biru, hijau, merah, jingga, bermacam warna. Burikpun sesekali kudapati. Besar, sedang, dan seperti jarum. Mereka masih golongan yang sama. Odonata. Aku tidak mengundang. Tapi mereka datang. Berbisik padaku.
"Air di gubukmu masih jernih, rawatlah. Pasti kami sering mampir."
Bola mataku beralih pandang ke sungai. Kemudian ke kolam di depanku. Bilah bambu membantu air bergemercik. Isi sungai, isi kolam, serat-serat bambu jelas kulihat. Sampai kukira tidak ada air yang mengalir. Kalau tidak gemerciknya berbisik.
 "Kami gemercik air, nikmatilah. Berkah kau menyayangi tempat berpijaknya kakimu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H