Sudah beberapa hari saya kerap melihat artikel di kompasiana mengenai pak Tjiptadinata dan bu Rose. Kedua kompasianer sepuh tersebut saya hanya kenal melalui tulisan-tulisannya. Satu tulisan yang paling saya suka adalah kisah pak Tjiptadinata tentang bisnis, mengeringkan bahan herbal kemudian dikemas dan dijualnya.
Bagi saya, itu adalah tulisan sederhana yang mampu memantik kami generasi muda yang kerjanya sekolah melulu tanpa ada strategi dan konsep sejak dini untuk memulai bisnis. Sangat menginspirasi untuk tidak ketergantungan terhadap lowongan pekerjaan.
Pak Tjiptadinata dan bu Rose tentu tidak mengenal saya. Akan tetapi saya pernah berjumpa secara tatap muka langsung di kantor kompasiana. (Saya boleh sombong dong kepada kompasianer lainnya, hehe). Beliau berdua mungkin tidak mengingat saya. Maklum, manusia introvert seperti saya ini memang agak sulit untuk bisa akrab dengan orang lain (sedih).
Saya lupa tanggal pasnya pertemuan pertama itu. Kalau membuka data di kompasiana, kemungkinan ada karena waktu itu pak Tjiptadinata dan bu Rose memberikan pelatihan pengobatan alami, Reiki di studio kompasiana.
Di acara pelatihan itu, saya bersama tiga atau empat orang lainnya, memang tidak ikut mencoba secara langsung. Mungkin beberapa teman itu, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati, sehingga tidak berani mencoba secara langsung.
Saya ikut kegiatan tersebut karena penasaran dengan pengobatan alami yang bisa dilakukan jarak jauh dan tanpa obat apapun. Namun, untuk mencoba secara langsung untuk seperti diisi, saya tidak berani, hehe. Maafkan saya yang masih bodoh ini. Belakangan hari pasca gempa Lombok, dompet dhuafa sempat melaksanakan pelatihan pengobatan yang saya rasa agak mirip. The Power of Self Therapy (The POST) nama teknik pengobatan diri itu. Pak Deni Setiawan, sebagai pendiri dan teraphis yang menyampaikan materi. Tapi apakah itu sama atau tidak, samasekali tidak tahu.
Kembali ke pak Tjiptadinata dan bu Rose. Satu hal yang saya ingat dari beliau berdua adalah pilih-pilih jika diberikan air minum. Menurut beliau kalau tidak salah, jika sembarangan menerima air dapat memberikan efek yang tidak diinginkan.
Saya jadi teringat dengan dua hal. Pertama, ada sebuah hadis nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh tiga imam besar, Ibnu Majah, Imam Ahmad, dan Al Baihaqi. Bunyinya kurang lebih:
"Air zamzam itu tergantung niat orang yang meminumnya."
Nah, merujuk hadis di atas, mungkin juga niat orang yang memberikan air, sangat mempengarui air yang diberikan. Jika niatnya kurang baik, maka dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi peminum airnya.
Kedua, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ilmuan Jepang, Masaru Emoto. Di dalam buku The Hidden Message in Water, ia menguraikan bahwa air bisa merekam pesan, seolah seperti pita magnetik atau compact disk yang merekam lagu-lagu. Ucapan-ucapan baik yang diperdengarkan ke air, berpengaruh pada terbentuknya molekul-molekul kristal yang indah dan menakjubkan. Sebaliknya, ucapan-ucapan buruk menyebabkan molekul-molekul air membentuk kristal yang tidak beraturan dan buruk.
Mungkin itulah sebabnya beliau berdua pilih-pilih air minum yang diberikan oleh seseorang. Membuat saya merasa harus berhati-hati untuk menerima minuman dan makanan yang diberikan oleh orang lain. Orang yang memberikan dengan hati yang tulus mungkin berbeda pengaruh dengan orang yang pamrih. Akhir kata, saya tidak tahu apakah dalam menulis tulisan singkat ini saya dapat digolongkan sebagai orang tulus atau tidak. Sebagai pemuda yang hatinya terkadang masih bergelombang seperti lautan, setidaknya hal inilah yang ingin saya tuliskan hari ini. Salam sehat selalu.