Pada awal bulan Juli 2024, publik dikejutkan oleh kabar tentang putusan kontroversial Mahkamah Agung (MA) terhadap Alex Denni, mantan pejabat di KemenPAN-RB. Putusan yang dikeluarkan pada tahun 2013 dalam perkara No. 163 K/Pid.Sus/2013 ini mengejutkan banyak pihak karena eksekusi dilakukan 11 tahun setelah vonis dijatuhkan, mengundang tanda tanya mengenai keadilan dan transparansi peradilan di Indonesia. Kasus ini juga membuka wacana baru mengenai ketidakadilan dalam sistem peradilan, terutama terkait rekayasa kasus dan manipulasi putusan.
PBHI, lembaga yang telah lama berfokus pada reformasi sistem peradilan, telah melakukan eksaminasi publik atas putusan terhadap Alex Denni dan dua terdakwa lainnya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. Melalui kajian mendalam, PBHI menyoroti beberapa kejanggalan dan disparitas putusan yang berpotensi menunjukkan praktik ketidakadilan dan rekayasa.
Kisah Kasus Alex Denni: Kronologi dan Kejanggalan yang Terungkap
Kasus ini bermula pada tahun 2003, ketika PT Telkom menunjuk PT Parardhya Mitra Karti (PT PMK), perusahaan yang dipimpin oleh Alex Denni, untuk melaksanakan proyek Distinct Job Manual (DJM) yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen Sumber Daya Manusia di PT Telkom. Nilai proyek yang disepakati mencapai Rp 5,7 miliar, dan pekerjaan tersebut selesai pada tahun 2004. Namun, pada tahun 2006, proyek ini diselidiki oleh Kejaksaan Negeri Bandung atas dugaan korupsi. Pengadilan Negeri Bandung pada tahun 2007 kemudian menyatakan ketiga terdakwa bersalah.
Namun, pada tingkat banding, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan, sementara Alex Denni tetap dinyatakan bersalah. Disparitas putusan ini memunculkan kecurigaan publik terkait keadilan proses hukum yang dijalankan.
Disparitas Putusan yang Menandai Ketidakadilan
Eksaminasi PBHI menemukan beberapa aspek ketidakadilan dalam proses hukum kasus ini, antara lain:
Disparitas dalam Putusan Ketiga Terdakwa
Alex Denni, Agus Utoyo, dan Tengku Hedi Safinah didakwa atas perbuatan yang sama dalam proyek yang sama. Namun, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dibebaskan di tingkat banding, sedangkan Alex Denni tetap dinyatakan bersalah. Kejanggalan ini memperlihatkan adanya inkonsistensi dalam penerapan hukum, padahal alat bukti yang digunakan sama.Inkonsistensi Penerapan Pasal 55 KUHP
Alex Denni dikenai dakwaan berdasarkan Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang penyertaan tindak pidana. Namun, penyertaan tindak pidana seharusnya melibatkan pelaku lain dalam tindakan yang sama. Jika Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah, seharusnya Alex Denni juga terbebas dari dakwaan tersebut.Tertutupnya Akses terhadap Putusan
Dalam sistem peradilan yang transparan, publik harus bisa mengakses putusan perkara. Namun, eksaminasi PBHI menemukan bahwa dari sembilan putusan pada tingkat Pengadilan Negeri, Banding, dan Kasasi, hanya satu putusan yang tersedia untuk publik, yaitu putusan Kasasi atas Alex Denni. Ketiadaan akses terhadap delapan putusan lainnya menimbulkan tanda tanya terkait akuntabilitas proses peradilan.Kelemahan dalam Penyajian Alat Bukti
Menurut para ahli hukum yang terlibat dalam eksaminasi, hakim di tingkat Kasasi hanya mendasarkan putusan pada alat bukti minimalis yang sebenarnya tidak cukup kuat untuk membuktikan kesalahan Alex Denni. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa proyek berjalan sesuai prosedur dan tidak ditemukan manipulasi atau penyimpangan yang menguntungkan Alex Denni.
Eksaminasi Pakar Hukum: Bukti-bukti Ketidakadilan
PBHI melibatkan tiga pakar hukum pidana dalam eksaminasi kasus ini, yakni Dr. Rocky Marbun, Dr. Vidya Prahassacitta, dan Dr. Ahmad Sofian. Berdasarkan kajian mereka, ditemukan beberapa poin penting yang memperkuat dugaan adanya rekayasa dalam putusan Alex Denni: