Berdasarkan data tahun 2005-2008, dari 205 kasus pembalakan liar yang disidangkan, 76 persen hanya mengadili operator lapangan. Sedangkan aktor utamanya hanya 24 persen.44 Sedangkan proses hukum terhadap pelaku pencemar dan pengrusak lingkungan lainnya dapat dihitung jari dari kebanyakan mereka bebas. Fenomena ini telah memungkinkan penyidik (dan Penuntut Umum) menggunakan UU Korupsi untuk menjerat illegal logging, seperti kasus-kasus pengalihan fungsi hutan di Sumatera Selatan dan daerah lain juga sudah banyak yang diproses melalui Undang-Undang Korupsi walaupun kurang maksimal, setidak-tidaknya belum ada yang bebas murni, dan mendapat dukungan masyarakat.
Di dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup, (UUPLH 1997, UUK 1999, UU MINERBA 2009) hukum pidana dipakai sebagai ultimum remedium, yaitu obat atau alat terakhir yang digunakan jika melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang lain sudah tidak memberi efek jera. Adanya mekanisme seperti ini justru dipakai oleh para pelaku pencemar dan pengrusak lingkungan terutama pelaku illegal loging untuk mendapat kebebasan dari jerat hukum.
Penerapan asas subsidiaritas dilakukan dengan membagi tiga tahap tindakan dalam hal pelanggaran lingkungan yaitu: tindakan pre-emtive, tindakan preventif dan tindakan represif. Tindakan represif dalam penyelesaian sengketa lingkungan telah menempatkan hukum pidana pada bagian yang kurang strategis dalam mencegah kejahatan lingkungan karena hukum pidana baru dipakai pada tahap terakhir, jika dua tahap sebelumnya (preemtive dan preventif) tidak berjalan dengan baik atau karena pertimbangan akan akibat yang ditimbulkan. Maka konstruksi hukum yang demikian sebenarnya menjadi pemicu rasa tidak adil oleh masyarakat, dan konstruksi tersebut tetap dipertahankan sampa sekarang, walaupun manfaat yuridisnya dapat dikatakan tidak ada. Â
Berdasarkan uraian yang telah disebut di atas perlu dipikirkan adalah merubah paradigma pemidanaan yang bersifat subsidair tersebut menjadi sesuatu yang premium remedium. Filosifinya adalah bahwa lingkungan (tanah, air dan udara) adalah warisan nenek moyang yang telah diperjuangkan dengan darah taruhannya untuk hidup bersama yang damai, maka rakyat banyak harus menikmati, berdiri dan berkuasa di atasnya bukan pengusaha atau investor.
D. Kritik Terhadap Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Secara yuridis seperti apa hak atau hak asasi lingkungan hidup yang baik dan sehat menurut penjelasan Pasal 5 (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH hanya menyatakan cukup jelas. Demikian juga penjelasan pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan cukup jelas. Hal ini memungkinkan orang melakukan interpreatasi secara subyektif tanpa ada makna yang dapat diterima oleh umum.Â
Pengertian Lingkungan Hidup yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH, menurut hemat penulis juga tidak menunjuk kepada bagian dari pengertian lingkungan hidup yang baik. Demikian juga jika mengartikan maksud Pasal 28 H ayat (1) "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."Â
Secara Contemporanea expositio, Â juga sulit, karena jika kalimat Pasal itu dipenggal berdasarkan makna, maka ada tiga hak yang dimaksud; hak hidup sejahtera lahir dan batin ; hak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan hak memperoleh pelayanan kesehatan. Pemahaman penulis tentang lingkungan hidup yang baik adalah air dan udara yang bersih, rumah tinggal, tempat kerja dan segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi dan kebutuhan manusia sehari-hari.
Harapan itu sekiranya akan memberikan kekecewan berlipat kepada masyarakat karena berdasarkan pembahasan sebelumnya mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan sama sekali tidak memberikan adanya jaminan. Hal itu pula yang mendorong organisasi lingkungan 'Wahana lingkungan Hidup' (WALHI) mendesak Pemerintah segera melaksanakan 5 agenda yang harus segera dijalankan, dan 3 di antaranya adalah:
- Cabut seluruh peraturan dan kebijakan negara yang selama ini menjadi alat legitimasi pemodal dan elit politik untuk mengeruk keuntungan atas lingkungan hidup dan SDA Indonesia.
- Pararel dengan pencabutan seluruh regulasi yang saling tumpang tindih tersebut, lakukan jeda (moratorium) perizinan baru terkait atas ekstraksi sumberdaya alam (tambang, migas, kehutanan, kelautan dsb) yang berskala besar, padat modal dan memiliki daya rusak ekologi tinggi, hingga adanya sebuah UU nasional yang integratif mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan SDA Indonesia dari pusat hingga daerah yang berperspektif hak asasi manusia (HAM), penghormatan pada hak tenurial dan hak-hak konstitusi masyarakat adat/lokal.
- Laksanakan jeda penebangan hutan. Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global. Â
Pengaturan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia dalam UUD 1945, memang belum dirasakan dampaknya dalam penyelesaian sengketa-sengketa lingkungan, namun jiwa dan semangat Konstitusi tersebut mewajibkan Negara untuk memberi, menjaga dan melindungi hak asasi masnusia dalam lingkungan hidup tersebut dengan mempercepat perbaikan peraturan yang ada dan meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum lingkungan, termasuk perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang ada, demi tercapainya keadilan lingkungan bagi masyarakat banyak.
Diharapkan dengan pembentukan suatu Komisi khusus yang menangani keseluruhan masalah lingkungan hidup, didasari oleh nuansa Konstitusi yang hijau, dapat sungguh-sungguh menata lingkungan hidup Indonesia yang baru, Indonesia yang hijau dan bermartabat, dan berkeadilan. Sehingga kapan pun, ...lakes, hills and mountain will never suddenly become litigious,... and 'They' would let us rest beneath a Tree.