Sebagai tanggapan atas lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa pada UU yang berlaku, maka tulisan ini hanya akan mengulas penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan melalui Pengadilan berdasarkan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH.
1. Administratif
Pihak-pihak yang bersengketa dalam penyelesaian secara administratif adalah orang perorangan; atau badan hukum perdata atau disebut juga korporasi; atau lembaga-lembaga swasta lainnya seperti LSM-LSM yang menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan; melawan badan-badan pemerintahan atau pejabat administrasi negara, menyangkut Keputusan Tata usaha negara yang dikeluarkan (beschiking), atau karena suatu kelalaian (ommission) dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, perbuatan atau kealpaan mana dianggap telah menimbulkan kerugian bagi orang perorangan atau suatu Badan Hukum Perdata lainnya.
Secara substansial, sengketa administrasi di dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH dapat berhubungan dengan:
- Perijinan (Pasal 18 sampai Pasal 21 UUPLH);
- Pengawasan (Pasal 22 sampai Pasal 24 UUPLH);
- Sanksi Administrasi (Pasal 25 sampai Pasal 27 UUPLH); dan
- Audit Lingkungan Hidup (Pasal 28 dan 29 UUPLH).
Walaupun pembagian sengketa dalam administrasi telah diatur melalui UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH, namun penyelesaian sengketa-sengketa administrasi yang berhubungan dengan empat hal tersebut di atas masih kurang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas, karena di dalam beberapa perkara hukum memperlihatkan bahwa ada dua hal yang masih menjadi permasalahan, pertama masih adanya tebang pilih dalam proses hukum, tindakan hukum hanya menjerat karyawan atau operator lapangan saja, sedangkan pemilik usaha atau pimpinannya tidak disentuh hukum.Â
Kedua, permasalah hirarki pemberian ijin atau pengawasan, yang dalam pelaksanaannya seringkali tumpang tindih antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan Pemerintah Daerah.
2. Perdata
Penyelesaian sengketa-sengketa perdata (civil dispute resolution) berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang PLH salah satunya berkenaan dengan prinsip tanggung jawab konvensional, yakni berdasarkan asas kesalahan (Fault Liability) dari pelaku (Pasal 34 UUPLH 1997).Â
Ketentuan Pasal ini merupakan realisasi dari asas pencemar membayar. Kelemahannya, Pasal ini sulit melindungi korban yang terkena pencemaran (air misalnya) yang baru diketahui akibat kimia pencemaran tersebut (misalnya kasus Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi) beberapa tahun setelahnya, sedangkan lokasi air yang tercemar sudah diperbaiki oleh pelaku.
3. Pidana
Menurut Gross, moral obligation to punish exists only so long as punishment is needed as part of scheme of social protection. Tujuan penentuan sanksi pidana dimaksudkan bagi perlindungan kepentingan sosial masyarakat, dalam hal ini memberi keadilan dengan menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat.Â