Kaidah darurat sipil diatur dalam Perpu No.23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang sebenarnya lahir untuk memenuhi ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Beberapa ketentuan yang diatur dalam Perpu tersebut jika terjadi darurat sipil adalah kewenangan penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan lain yang terkait keamanan. Situasi yang dihadapi dalam darurat sipil adalah kondisi keamanan yang bersifat umum, sehingga pendekatannya lebih kepada pendekatan yang bersifat militeristik.
Lantas pertanyaannya adalah kenapa Pemerintah tidak mengambil kebijakan karantina wilayah sebagaimana amanat Pasal 53 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan? Dalam hal ini terdapat logika dasar kebijakan Pemerintah yang bisa dikatakan lompat terlalu, yaitu dari UU No.6 Tahun 2018 ke Perpu No.23 Tahun 1959. Dalam upaya untuk menanggulangi penyebaran virus Corona, tentu dibutuhkan kebijakan pemerintah yang bersifat represif, namun kebijakan yang dibuat pun tentunya tidak hanya bersifat represif tapi juga harus bersifat solutif. Pada saat sekarang ini yang darurat adalah kesehatan masyarakat, namun jika diterapkan darurat sipil maka yang darurat adalah negaranya karena ancaman keamanan dan kekacauan lainnya.
Ada tiga tingkatan keadaan bahaya, yaitu darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Sehingga arah darurat sipil yang dimaksudkan dalam Perpu No. 23/1959 adalah lebih kepada "penertiban" dengan dalih keamanan/ketertiban umum, sementara yang membedakan dengan darurat kesehatan dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, arahnya adalah bagaimana Pemerintah menjamin kebutuhan dasar rakyat. Di dalam Perpu No. 23/1959 di jelaskan bahwa darurat sipil diberlakukan apabila; keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam. Adapun sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan umum Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana terkait klasifikasi bencana, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permasalahan virus corona merupakan bencana yang masuk dalam bencana non-alam, sehingga tidak lah perlu untuk menetapkan status darurat sipil.Â
Maka yang seharusnya dioptimalkan adalah UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, bukan lompat kepada Perpu No. 23/1959 karena akan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya dan tidak dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara mendasar.
Ketentuan yang mengatur mengenai karantina wilayah terdapat dalam Bab VII bagian ketiga tentang Karantina Wilayah, yakni pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Namun hal tersebut justru diabaikan oleh Pemerintah, ini semacam pribahasa "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak". Artinya bahwa mengapa pemerintah tidak menggunakan UU Karantina Kesehatan yang lebih baru dan lebih solutif bagi masyarakat ketimbang mundur ke belakang dengan menggunakan Perpu No. 23/1959. Dimana seharusnya, dalam kondisi wabah yang terus meluas maka dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar, dilanjutkan dengan mengambil solusi karantina wilayah sebagaimana amanat dari Undang-Undang tentang Karantina Kesehatan bukan justru mengambil kebijakan darurat sipil.
Oleh karena itu jangan sampai kemudian Pemerintah terlihat takut dan ingin lari dari kewajiban atas konsekuensi jika dilakukan karantina wilayah sebagaimana termuat dalam Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2018 yakni dengan mencari jalan lain yaitu menerapkan kebijakan darurat sipil. Di dalam pasal 55 UU tentang Karantina Kesehatan yang mengatur tentang karantina wilayah, memuat kewajiban pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang di wilayah karantina dan hal tersebut merupakan konsekuensi logis yang seharusnya di ambil oleh pemerintah.
Pemerintah sebagai entitas tertinggi di suatu negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan masyarakat. Karena pada dasarnya keberadaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945) dimana kedaulatan rakyat sebagai the supreme of authority, hal ini didasari oleh suatu asas yang berbunyi solus populous supreme lex bahwa kepentingan rakyat adalah hukum paling tertinggi. Maka keberadaan dari undang-undang tidak hanya sekedar menjadi pajangan dalam memenuhi etalase lembaran negara, namun bagaimana undang-undang tersebut mampu untuk dijalankan dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat dan demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
Penggunaan Perpu 23/1959 sebagai acuan dalam menerapkan kebijakan darurat sipil berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pasalnya di dalam Perpu 23/1959, penguasa darurat sipil bisa menyuruh aparat untuk menggeledah tempat sekalipun pihak pemilik tempat tidak bersedia, penguasa darurat sipil berhak menyita semua barang yang diduga menggangu keamanan, hingga memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai, penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah, penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita dan percakapan telepon, melarang pemakaian kode hingga bahasa selain bahasa Indonesia, membatasi penggunaan alat telekomunikasi, dan menghancurkan alat telekomunikasi. Hal tersebut kemudian memungkinkan kekuasaan secara subyektif otoriterian dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.
Perlu untuk digaris bawahi, bahwa permasalahan yang terjadi saat ini bukan masalah keamanan negara, melainkan kepatuhan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penularan Covid-19. Sehingga jangan sampai arah dari kebijakan darurat sipil justru melihat rakyat sebagai suatu ancaman dan bukan lagi memandang wabah corona sebagai ancaman. Oleh karena itu, perlu untuk dicermati, bahwa  dengan kondisi saat sekarang ini, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal yang utama, dan bahwa salah satu faktor yang membuat rakyat tidak taat atas himbauan pemerintah adalah karena tuntutan mereka untuk terus keluar dan mencari pekerjaan. Maka bayangkan saja, ketika pemerintah menerapkan kebijakan darurat sipil, namun pemerintah justru merasa lepas tangan akan kewajibannya untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Pada akhirnya, jangan sampai negara menggunakan kedaruratan-kedaruratan untuk melegitimasi segala tindakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H