"Ceraikan aku," kata ibu sambil melotot.
"Sabar ma, sabar. Kalau tidak keluarga kita akan hancur," jawab ayah dengan nada agak lembut menahan amarahnya.
Ternyata amarah ibu tidak dapat dibendung lagi, ia terus mencaci maki ayah sambil berteriak-teriak suaranya terdengar sampai ke rumah tetangga.
"Dulu papa menikahiku dengan alasan cinta. Rupanya papa bukan mencintaiku tetapi mencintai harta yang aku miliki. Bekilo-kilogram emas aku sumbangkan untuk modal usaha papa. Sehingga papa menjadi orang kaya raya. Sekarang emas itu papa jadikan hiasan. Papa sangkutkan di ujung tugu yang ada di depan rumah papa di pulau seberang. Dasar penipu, mata keranjang," begitu ibuku merepet sembari menunjukkan jarinya ke muka ayah.
"Tenang ma, tenang. Ini masalah kita bersama. Kita perlu berdialog mencari solusi, kita perlu hakim," ucap ayah sambil mengangkat kedua belah tangan nya seperti orang memohon maaf.
Ibuku tidak menghiraukan lagi ucapanya. Ia terus mengungkit-ungkit sejarah lampaunya.
"Aku papa tinggalkan disini dengan deraan penderitaan. Nafkah tidak pernah papa kira. Tidakkah papa ingat jasaku ketika aku belikan dua buah pesawat terbang. Untuk modal usaha papa supaya mudah berbisnis. Sekarang pesawat itu papa gunakan sebagai sarana pelancongan pergi berekreasi ke luar negeri. Papa pergi jalan-jalan melihat Tembok Berlin, Tajmahal, dan melihat Gedung Putih. Sedangkan aku papa tinggalkan disini tanpa kabar sepatah katapun, hanya algojo dan mata-mata yang papa kirim kerumah ini. Dasar penipu," kembali tudingan telunjuk ibu ke arah hidung ayah.
"Algojo dan mata-mata itu, papa kirim demi keutuhan tali pernikahan kita ma," jawab ayah.
"Persetan dengan kata-kata papa. Algojo dan mata-mata telah menyiksa dan membunuh anakmu sendiri. Sekarang ceraikan aku titik!."
Begitulah keadaan keluargaku pertengkaran terjadi hampir saban hari. Namun, ayahku hanya tenang-tenang saja dan selalu berkata: "Tidak ada kata berpisah antara kita berdua, kau tetap isteriku sampai kapanpun."
Selanjutnya ibuku hanya menunggu. Kata talak tiga tidak pernah keluar dari mulut ayahku. Sedangkan aku dan saudara-saudaraku menunggu kepastian dari ayahku, yaitu diberikan hak untuk memilih. Bergabung dengan ayah untuk berusaha bersama-sama atau bergabung dengan ibuku untuk membangkitkan kembali semangatnya yang sudah rapuh. Tetapi ayahku hanya diam saja, tidak ada kejelasan darinya. Kami hanya diberikan hak untuk mengurus dirinya sendiri. Beban ibuku bertambah berat, ia harus buka usaha sendiri, mengelola sendiri dengan modal sendiri. Anaknya kelaparan dan berkelana dimana-mana.
Ayahku sudah lama tidak pulang ke rumah, ujung pulau ini hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan. Ia hanya mengirimkan algojo dan mata-mata untuk memantau gerak-gerik aku, ibu, dan saudara- saudaraku. Algojo itu sering memaki, membentak, dan memukul kami. Algojo itu sangat beringas dan menyeramkan. Kami disiksa dirumah kami sendiri. Terpaksa kami keluar dari rumah sendiri mencari tempat yang aman.
Kadang-kadang kami tidur di masjid dan di bawah tenda biru. Rumput hijau kami jadikan tempat pembaringan. Angin malam menjadi selimut kami. AC alam membuat urat dan tulang kami jadi kering kedinginan. Pohon-pohon lesu penuh rasa kepiluan melihat nasib kami. Burung-burung meneteskan air mata melihat nasib manusia yang terusir dari rumahnya sendiri.
Burung-burung bebas tidur sesuka hati, bebas pulang pergi kesarangnya. Tidak terusir dari sarang sendiri. Burung adalah binatang, punya rasa kasih sayang. Kenapa manusia seperti ayahku yang punya pikiran tidak pernah bersedih dan tidak merasa iba sedikitpun? Kami tidak bisa menjawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Kami hanya bisa berdoa.
Aceh Utara, 23 Oktober 2023