Moderenisasi menjadi hal yang paling tidak bisa dihindari oleh suatu bangsa yang tergolong sedang berkembang, terlebih seperti Indonesia yang masyarakatnya sangat terbuka pada hal-hal baru. Moderenisasi secara teori sosial, lebih dimaknai sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat moderen dengan berbagai ciri. Semangat modernisasi cenderung diterjemahkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan hal seperti ini telah banyak menimpah kota-kota di Indonesia yang semakin dipenuhi bangunan moderen beragam rupa (Batubara, 2015: 4-5).
Sayangnya, pembangunan infrastruktur moderen seperti pembangunan mall,Hotel, serta fasilitas pendukung moderenitas lainnya tersebut tidak dilandasi dengan pertimbangan yang tepat dan baik. Dikatakan demikian karena, dalam proses pembangunan itu sendiri selalu mengorbankan segala hal yang berbau 'lama' yang dianggap kurang mencerminkan semangat dalam mewujudkan masyarakat moderen. Hal-hal yang berbau 'lama' yang dimaksud diantaranya adalah bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang telah menjadi bangunan cagar budaya Indonesia yang seharusnya dilindungi.
Meskipun bahwa pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya untuk memberi identitas baru bagi bangsa Indonesia dan juga bagi generasi-generasi yang akan datang melalui bangunan-bangunan moderen tersebut, akan tetapi disaat yang bersamaan proses pembangunan tersebut juga ikut serta menghancurkan identitas bangsa Indoensia yang terkandung dalam bangunan-bangunan peninggalan masa lalu tersebut. Apalagi bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang telah menjadi cagar budaya.
Proses pembangunan infrastruktur moderen yang berimbas pada penghancuran bangunan-bangunan lama peninggalan masa lalu yang telah menjadi cagar budaya di Indonesia, telah banyak terjadi. Beberapa diantaranya adalah kasus penghancuran eks-Kodim Salatiga dan eks-Bisokop Hebedi Pangkal Pinag pada tahun 2010 yang diganti dengan pusat perbelanjaan moderen.Â
Selanjutnya, kasus penghancuran yang terjadi di Yogyakarta yakni penghancuran bangunan cagar budaya Wardi Muto sebagai bagian dari Rumah Sakit Mata Dr. Yap. Di Surabaya, penghancuran rumah eks-radio perjuangan yang menjadi lokasi Bung Tomo berpidato pada 10 November 1945.
Proses pembangunan infrastruktur moderen yang berimbas pada penghacuran bangunan lama peninggalan masa lalu yang telah menjadi cagar budaya, juga terjadi di Kota Lama Kendari, Sulawesi Tenggara. Disebut Kota Lama Kendari karena, kawasan tersebut menjadi cikal bakal Kota Kendari hingga sekarang. Kota Lama Kendari, mulai dibangun menjadi kota pelabuhan dagang dan pangkalan militer oleh Vosmaer pada tahun 1832, di dalamnya memiliki sejumlah tinggalan bangunan cagar budaya yang seharusnya dilestarikan. Bangunan-bangunan tersebut diantaranya adalah Loji, Pecinan, Bioskop Pertama Kendari (Kendari Teater), Rumah Kontroler Belanda, Sekolah Cina, dll.
Proses penghancuran bangunan cagar budaya di Kendari pertama kali terjadi 7 Februari 2015. Bangunan cagar budaya yang dihancurkan adalah bangunan Kendari Teater. Kendari Teater adalah bangunan bisokop pertama di Kendari yang dibangun pada masa Kolonial Belanda.Â
Saat ini di lokasi tersebut telah dibangun Jembatan Bahteramas yang menghubungkan kecamatan Kendari dengan Kecamatan Abeli yang letak dari kedua kecamatan tersebut terpisahkan oleh teluk Kendari (teluk Vosmaer). Kasus peghancuran bangunan cagar budaya yang terjadi di Kendari  baru-baru ini juga menimpa bangunan eks-Rumah Kontroler Belanda yang letaknya juga tidak jauh dari lokasi penghancuran Kendari Teater.Â
Rumah tersebut merupakan rumah yang pernah ditempati oleh pejabat tinggi pemerintahan Belanda pada masa menguasai Kendari. Semua bagian rumah tersebut dihancurkan dan diganti dengan yang baru, mulai dari dinding hingga atap. Â
Entah dikemanakan beberapa meriam yang sebelumnya berada di depan rumah tersebut. mungkin sudah di kilo atau ditimbang ditukang penimbang besi. Dan juga, entah dengan alasan apa lagi pemerintahan Kendari menghancurkan rumah yang telah menjadi cagar budaya tersebut, yang jelasnya peristiwa ini sangat di sayangkan dan secara tidak langsung, perlahan-lahan akan menghapus eksistensi Kota Lama Kendari sebagai salah satu kota bersejarah di Sulawesi Tenggara yang seharusnya dijaga dan dilestarikan keberadaanya.Â
Selain itu, peristiwa penghancuran beberapa bangunan cagar budaya di Kota Lama Kendari tersebut telah melanggar undang-undang cagar budaya nomor 11 tahun 2010. Hal inilah yang sebenarnya yang paling sangat disayangkan.Â