Mohon tunggu...
Hamdan Hafizh
Hamdan Hafizh Mohon Tunggu... -

Everyday is praying. Everyday is listening. Everyday is reading. Everyday is writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ya Allah Ampuni Buruh-buruh Kami

8 April 2013   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sedikit berbagi tentang peristiwa yang bisa-bisa membuat berangsang (baca: sangat gusar). Terpilih menjadi seorang yang ditokohkan atau menokohkan seharusnya mampu membuat perkembangan menuju sebuah perubahan. Hanya mencoba untuk melaksanakan pernyataan itu.

Klaim zaman saat ini berkata bahwa modernisasi dan mondialisasi merupakan sebuah kewajiban yang mau tidak mau harus diikuti dan dikawal dinamikanya. Memang tidak salah kalau-kalau di lapangan semua hal harus serba modern dan sifatnya mondial. Dari pena yang kau gunakan, pakaian-pakaian yang kau kenakan dan kawan-kawannya dipastikan harus bermerek, kata lainnya branded. Tidak masalah. Ada aspek baik dan buruk dari pengakuan zaman saat ini. Itu tentang teknologi dan perkembangan budaya! Kita tidak pula menyebutnya konsumerisme atau hedonisme asalkan barang itu tepat guna dan dilihat dari siapa yang memakai. Terbelalak jika ada kawan menyebut: "Kau hedonis...kau konsumeris...kau kapitalis...". Padahal mereka bersembunyi memperbaharui status atau kultwit-nya melalui ponsel pintarnya. Atau sebaliknya jika kau lusuh, tidak modis (lebih tepatnya kau itu modeste). Kau bisa jadi dikatakan: "Kau terlalu zuhud...sosialis...kau begitu ekonomis!". Apalah arti istilah-istilah itu jika tidak berdasar dengan kenyataan. Bisa jadi yang zuhud itu kaya. Bisa jadi yang kau anggap sosialis itu malah serta-merta dia itu kapitalis dan konsumtif. Ya begitulah kata orang bijak, "kita tidak bisa menghakimi manusia dari tampilan luarnya." Yang perlu diperhatikan adalah seberapa pahamnya kita tentang terminologi-terminologi baru seperti itu. Aplikasinya. Bukan manggut-manggut. Carilah jika kau bisa mencarinya (-pen). Ya Allah, ampuni kami!

Berkaitan dengan sebuah istilah atau apapun, ada satu kata yang tidak bersepakat bagi saya. Ini tidak etis. Kalau negara kita memandang bahwa warganya memiliki hak yang sama, begitu juga dengan hak peristilahan. Tidak begitu menarik sebenarnya. Tidak diatur dalam Undang-Undang negara. Hak peristilahan adalah penamaan seseorang atau benda atas profesi atau lingkungan eksternal istilah itu dibuat. Maksudnya adalah istilah itu disepakati atas berkesesuaian dengan apa yang melibatkan sebuah nomina memiliki 'nama' sesuai dengan image mentale -nya (Ferdinand de Saussure). Konon katanya bahasa itu arbitrer (mana suka) dan kemudian konvensional. Tapi tidak dengan satu kata ini yakni "buruh". Betapa gusar sekali dengan satu kata ini. KBBI mendefinisikan 'buruh' adalah orang yg bekerja untuk orang lain dng mendapat upah; pekerja. Mengapa tidak diistilahkan karyawan saja? atau pekerja? atau tenaga kerja? mengapa bukan pegawai? Toh di KBBI buruh sama dengan pekerja bukan? Apakah ini sebuah istilah stratifikatif atau yang dipandang dari segi tingkatan bahasa? Bahasa standar?

Tentang buruh, di dunia perbinatangan belum ditemukan ejawantahnya. Ambil saja contoh dari lebah dan semut. Ada sang ratu lebah dan lebah pekerja, semut ratu dan semut pekerja. Tidak ada lebah buruh dan semut buruh. Itu tentang stratifikasi sosial di dunia binatang.

Di pabrik rokok, pertambangan, pelabuhan dunia manusia, orang yang bekerja untuk mendapat upah namanya buruh pabrik, buruh pertambangan, buruh pelabuhan. Padahal manajer, presiden direktur, pegawai, karyawan sama halnya mengharapkan upah atas pekerjaannya. Lema 'buruh' malah seakan-akan menjadi negatif secara semantik. Negatif pula dengan lingkungan eksternalnya. Kenyataannya buruh dimaknai seperti budak. Sepengetahuan saya, negara ini adalah negara yang tidak bersepakat dengan perbudakan yang semena-mena, penjajahan kemanusiaan, atau sepakat dengan dekolonialisasi dan deimperialisasi. Lantas, mengapa tidak kita ganti atau kita alihkan lema ini atau diperhalus lagi menjadi lema lain. Buruh..buruh..buruh..

Sebenarnya ada 3 hal yang perlu disampaikan ihwal kata 'buruh'. 1. Arti leksikal buruh, 2. Arti semantik buruh, dan 3. Arti pragmatis buruh. Ketiga hal itu perlu diamati. Apakah 'buruh' adalah bentuk hiponim dari pekerja? Atau ia lema yang bebas posisi dari kelompok nomina. Kalau bebas, perhaluslah istilah 'buruh pabrik' menjadi 'pekerja pabrik'. Seperti kau membuat perhalusan kata 'pelacur' menjadi 'tunasusila, pramuria". Agar secara sosial, buruh dipandang sebagai golongan manusia bukan berada pada tingkatan -yang secara pragmatis dan stratifikatif- rendah. Seakan-akan istilah itu tidak sejalan dengan kinerja, proses banting tulang, mengangkut barang-barang berat dari geladak kapal menuju pelabuhan, mengeluarkan waktu untuk bekerja. Kemudian mereka bukan dianggap seorang 'pekerja' yang menurut saya lema tersebut lebih membahagiakan perasaan.

Mentalitas bangsa ditentukan pula dari bahasa yang menjatuhi nominalisasi kata. Singkatnya, bahasa punya andil atas penamaan diri seseorang. Buruh adalah pekerja. Yang mengharapkan upah laiknya manajer, presiden direktur, dan karyawan. Bahasawan di Badan Bahasa perlu merevisi makna buruh dan perlu mengajukan istilah 'pekerja' yang dipakai sehari-hari untuk menggantikan penggunaan kata 'buruh' yang bisa dimanfaatkan oleh para fanatis stratifikatif sosial.

Ya Allah ampuni buruh-buruh kami!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun