Ampun beribu ampun kala banyak hal di sekitar kita sebagiannya terabaikan. Bahkan seluruhnya kita pun tidak pernah tahu. Banyak hal sudah kita lewati begitu saja tanpa sadar. Hingga waktu yang pada akhirnya mengerutkan sedikit demi sedikit wajah kita, menyurutkan tenaga kita secara perlahan, bahkan hampir-hampir saja membuat nyawa kita meregang. Atau mungkin sudah dekat? Tak pernah kita mengerti cara Tuhan mengambil haknya kita. Hak kesenangan, hak kebahagiaan, hak kesedihan, hak segala perasaan yang kita miliki. Berbicara pada hari ini kita ditemui berbagai permasalahan.
Memang, secara tegas saya katakan ini wajar! Bahkan di agama saya pun permasalahan-permasalahan itu sudah sunatullah kehidupan. Tapi, perlu ada solusi yang mampu menguraikan masalah-masalah itu. Hari ini adalah hari buruh, untuk sekadar mengingat jasa-jasa buruh yang dengan dedikasinya bekerja tanpa pernah lelah dan keluh yang begitu meledak-ledak. Tapi, rasanya hari inilah yang membuat mereka, para buruh justru meledak-ledak. Baik itu di jalanan, di kawasan pabrik mereka bekerja, membawa rontek-rontek dan pamflet-pamflet berkonten 'revolusi'. Tampaknya memang perlu ada waktu untuk itu. Namun demikian mengapa mereka tak berani menyampaikan langsung pada para inohong pabrik pada waktu-waktu aktif bekerja. Bukannya tidak punya waktu, tapi terkadang suara ini sumbang dan tidak sampai terdengar oleh penggede itu.
Ada pesan bagi kau. Kau para pimpinan pabrik harusnya paham dengan kinerja para "pekerja". Tanpanya kau tiada punya penghasilan. Jangan seperti mendahului Tuhan. Simpulnya, hari buruh adalah waktu untuk menginstropeksi kinerja-kinerja yang sudah dilakukan oleh para buruh pada pabrik-pabrik. Kendati begitu kita juga tidak harus selalu mengamini suara lantang buruh-buruh yang dipekerjakan dengan baik oleh para pimpinannya. Wong, kita masih manusia kan? Hari Buruh bukan hari-hari politis yang dimanfaatkan sedemikian rupa oleh segelintir orang penuh kepentingan. Mungkin saja saya katakan buruh itu benar-benar merdeka. Merdeka dari belenggu kemanusiaan penuh getir yang dibuat sendiri oleh manusia-manusia lainnya. Begitulah tentang buruh.
Kawan-kawan saya sudah sejak lama menanyakan dan membahas tentang fenomena lainnya, bukan hanya tentang buruh. Buruh, biar diserahkan pada sahabat-sahabat lainnya yang punya kaitan dengan kasus ini. Fenomena ini tidak kalah mengerikannya. Entah kita sadar atau sengaja tidak sadar. Kita memandang negeri ini kaya akan segalanya. Kaya bukan hanya dari segi permasalahannya saja, juga kaya pada kelalaian atau bahkan kecerobohan yang luar biasa. Yang semestinya kita membuah ide-ide segar untuk menjawab permasalahan itu. Sederhana saja, perhatikan di ufuk jauh sana sastrawan kian mengelus-elus dada tentang beberapa hal.
Bila buruh bersikeras terjun ke jalan menyuarakan keluhannya kemudian 'didengar', sastrawan tidak sering menyampaikannya secara frontal. Mereka lebih tampak sabar dan lebih pada tingkat introversinya yang tinggi, lewat karya-karyanya. Bukan hanya keadilan yang langka atau eksploitasi alam kita yang kian banyak diajukan dan diserahkan kepada gendruwo bule, tapi juga sastrawan kita pun kian langka dengan sedemikian rupa cara-cara menemukan mereka. Bisa jadi kalau kita tidak memperhatikan dan tidak ada kesadaran sedikitpun, mereka pun lama kelamaan punah. Punah dengan membawa nilai-nilai karya mereka.
Lantas jika seperti itu langkah kita bagaimana? Kita ambil contoh tentang sastrawan senior angkatan '66, Taufiq Ismail. Beliau adalah sastrawan yang lahir dari Bukittinggi, 25 Juni 1935. Laki-laki 77 tahun itu sastrawan! Juga manusia! Jika kita mengambil ide dari Rene Descartes yang pernah mengujarkan je pense donc je suis (aku berpikir maka aku ada) kemudian diparafrasekan begini: "aku berkarya maka aku ada!".
Sastra perlu apresiasi yang kalang kabut menemukan tantangan pelapukan daya penghargaan. 77 tahun bukan usia yang muda lagi. Dari merekalah negeri ini kemudian berkembang menuju pada harapan. Sayangnya harapan itu terputus di tengah jalanan. Dahulu sastra dielu-elukan. Secara historis, sastra adalah cara menyampaikan nilai dengan indah. Sayang beribu sayang cara itu kemudian menemui kesesatan jalan. Taufiq Ismail adalah sastrawan frontal terhadap perubahan, melawan kesewenang-wenangan, otoritarianisme penguasa di tiap periode masa. Masanya Orde Lama sampai sekarang.
Taufiq Ismail adalah sastrawan yang setia dengan nilai-nilai berdasar kehidupan religius agamanya. Selain karena ia berasal dari tanah Minang. Juga, ia adalah sastrawan penuh visi tentang bangsa ini yang sudah terdegradasi moral sebab keabsenan dari nilai-nilai indah sastra. Sayang pula, sastra modern atau kontemporer mengedepankan nilai-nilai ambigu. Lantas bagaimana generasi selanjutnya menghadapi persoalan ini?
Bersegeralah sowan pada beliau. Bahasa saya adalah eksploitasilah beliau sebagai representasi sastrawan yang hingga kini masih eksis. Jangan sampai kita terlambat dan kemudian mengharu-biru kala sastrawan sudah masuk kolom obituari di media massa ataupun lainnya. Maka dengan ini bersastralah dengan nilai-nilaimu. Nilai-nilai agamamu dari Tuhanmu, nilai-nilai sosial-budaya dari manusia di sekitarmu, nilai-nilai personal dari lingkungan kehidupan internalmu. Sekali lagi, jangan sampai terlambat hingga hatimu berkabut pekat, mata yang sudah penuh penat. Kaki yang sudah mengurat sebegitu erat. Lebih celaka lagi tak sempat sebab sudah di ujung hayat.
Sebagai penghormatan, demikian saya sebut Taufiq Ismail, sastrawan senior ini sebagai seorang 'buruh sastra yang setia'. Hidup sastra! Hidup sastra! Hidup sastra Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H