Salah satu agenda besar paska Orde Baru adalah reformasi ditubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ditengah upaya membangun supremasi sipil, TNI menjadi lokomotif demokratisasi bersama masyarakat, cendekiawan, ulama dan mahasiswa. Proses transisi tersebut berjalan mulus, bahkan tanpa riak dan gejolak. Situasi tersebut justru terbangun ditengah pesimisme, bahwa TNI akan dengan ikhlas kembali ke ”barak”.
Sebagai elemen penting eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), TNI lahir dari rahim rakyat Indonesia. Sesuatu yang tidak lazim, dimana biasanya institusi pertahanan keamanan ‘diciptakan’ oleh negara. Oleh sebab itu TNI dan rakyat adalah manunggal. Kepentingan TNI merupakan sintesa kepentingan dan kehendak rakyat. Sehingga bisa dipahami proses reformasi di dalam tubuh TNI berjalan lancar, karena itulah kehendak rakyat.
Memasuki usia ke 67 tahun TNI harus tumbuh besar baik dari segi organisasi modernisasi alutsista serta pengembangan sumber daya manusianya. Terlebih 12 tahun paska reformasi, Indonesia terus bangkit menuju cita-cita besar konstitusi. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Ditengah langkah dan derap pembangunan nasional, TNI harus tumbuh besar sebagai bagian tidak terpisahkan dari pesatnya laju perekonomian nasional.
Keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan sektor pertahanan terlihat dalam besaran alokasi Kementerian Pertahanan dalam RAPBN 2013 yang mencapai angka 7,7 triliun rupiah. Ditengah lambatnya laju pembangunan infrastruktur, khususnya di daerah. Anggaran pertahanan yang mendapatkan prioritas terbesar tersebut, harus dijawab oleh TNI dengan peningkatan rasa aman dan profesionalisme prajurit.
Keamanan Nasional
TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI dituntut harus siaga terus menerus. Memasang telinga dan mata terhadap munculnya ganguan ataupun potensi gangguan keamanan. Keseriusan pemerintah untuk memodernisasi alutsista menuju Minimum Essential Force di tahun 2014. Harus disikapi dengan mentalitas dan sikap patriot.
Paska Perang Dingin, potensi ancaman yang muncul lebih banyak datang dari non-state actor dengan potensi gangguan bersifat non-tradisional. Sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah dan populasi terbesar keempat di dunia. TNI dihadapkan pada kejahatan lintas negara. Mulai dari penyelundupan, narkotika, perompakan, hingga iilegal fissing.
Pemenuhan rasa aman warga negara wajib dipenuhi oleh kehadiran militer yang profesional, tangguh dan modern. Tidak jarang kita dapati banyak nelayan tradisional ditangkap oleh otoritas keamanan negara tentangga, bahkan ada yang ditembak. Banyak pula kita dapati cukong mencuri kayu di perbatasan kalimantan, hingga pencurian pasir laut dan penerbangan illegal diatas wilayah udara nasional. menjadi bukti sahih ketidakhadiran militer dalam pemenuhan rasa aman bagi rakyatnya.
Sebagai kesatuan dari rakyat, TNI harus hadir dalam ruang-ruang publik. Hal ini dipahami, bahwa TNI harus mampu memberikan rasa aman yang mutlak. Sehingga rakyat dapat melakukan aktifitas perekonomian. Hal ini dapat tercapai bila TNI memiliki efek getar yang mumpuni. Sehingga disegani dan dihormati oleh kawan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak semata dibutuhkan anggaran yang fantastis. Meski diakui bahwa modernisasi alutsista dan peralatan lainnya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Namun ditengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. TNI harus mampu beradapatsi dan melek teknologi. Terlebih proyeksi ancaman keamanan dimasa depan akan beralih kedalam dunia maya. Setidaknya ditengah propaganda asing melalui jaringan internet, baik berupa pengaruh kebudayaan bahkan hingga ideologi, internet dapat dijadikan sebagai sistem peringatan dini. Pada akhirnya perang akan dimenangkan oleh mereka yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Profesionalisme Prajurit
Paska prosesi kembalinya TNI ke ’barak’ yang terpenting dan utama adalah pembinaan internal TNI dalam mewujudkan profesionalisme. Setidaknya terdapat tiga indikator profesionalisme TNI, 1) Organisasi yang efektif, 2). Peningkatan kemampuan prajurit, 3). Kesadaran memajukan dan menegakkan HAM.
Sebagai otoritas pertahanan negara, TNI mutlak membangun sebuah organisasi yang ramping, efektif dan efisien serta bersifat taktis dan strategis. Organisasi tersebut harus mampu berperan maksimal dikala perang dan damai. Organisasi TNI tidak bisa dibangun dengan budaya organisasi sipil yang bersifat birokratis. Namun tetap harus bersifat hirarkis sesuai garis komando. Ditengah upaya membangun demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, TNI juga dituntut untuk mengembangkan budaya organisasi yang modern dan adaptif, dengan tetap menjaga tradisi.
Untuk itu orientasi organisasi TNI harus bertumpu pada pengembangan SDM yang berkualitas dan sistem informasi dan komunikasi. Serta memenuhi standar tata kelola yang modern, profesional, dan terbuka. Ditengah arus deras teknologi komunikasi dan informasi, TNI harus mampu mengkomunikasikan peran, fungsi dan wewenangnya kepada publik melalui berbagai saluran komunikasi, terutama jaringan internet. Termasuk kedalamnya pembangunan citra lembaga dan publikasi akademis dibidang pertahanan keamanan.
Langkah strategis dan utama dalam peningkatan profesionalisme TNI adalah pengembangan kemampuan prajurit TNI. Ditengah munculnya beragam ancaman yang bersifat lintas negara yang dilakukan oleh aktor negara serta munculnya kekuatan-kekuatan militer baru didunia, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Brasil, Korea Selatan, hingga Rusia. Prajurit TNI harus memiliki paradigma baru dalam mengidentifikasi potensi ancaman terhadap eksistensi NKRI. Kondisi ini semakin bertambah buruk, ketika potensi ancaman tersebut bersumber atau dipicu dari dalam negeri. Pengembangan kemampuan intelijen dan kontra intelijen, teknologi informasi komunikasi, dan persenjataan kimia serta perang budaya/ideologi mutlak dimiliki oleh prajurit TNI.
Sebagai patriot dan nasionalis, prajurit TNI dituntut untuk mengembangkan paradigma dalam pengembangan dan penegakan HAM. Catatan sejarah masa lalu, harus dipahami sebagai pelajaran penting dan berarti. Karena sesunggunya amunisi bukan untuk membasmi rakyat, tetapi musuh negara. Masih besarnya tantangan TNI dalam penegakkan HAM harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Dan dipahami sebagai sebuah internalisasi nilai-nilai Pancasila, sebagai ideologi prajurit. TNI dimasa datang disegani tidak hanya karena kekuatan militernya semata serta kehandalan dalam memenangi setiap peperangan dan pertempuran. Tetapi akan disegani dan dihormati oleh kawan dan lawan, ketika mampu menampilkan nilai-nilai humanis dan kemanusian dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Akhirnya, sebagai warga negara dan rakyat Indonesia yang mencintai tentaranya, kita semua berharap. TNI tetap dan terus berkembang menjadi tentara modern yang unggul dalam strategi, handal dalam pertempuran dan perperangan, serta terus menjadi kesatuan dengan rakyat dalam membangun Indonesia, menuju masyarakat adil, makmur dan beradab. Dirgahayu TNI Ke-67.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H