Mohon tunggu...
Khairul Hamdan
Khairul Hamdan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menggugat kesadaran membangun hasrat untuk mendayagunakan setiap potensi menjadi manusia bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Pemimpin untuk Jakarta

4 Juli 2012   10:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:18 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, sebagai wilayah otonom memiliki peran strategis dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran strategis tersebut tersirat dari statusnya sebagai Ibukota Negara. Untuk itu, keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan  di Jakarta dapat menjadi parameter pembangunan di daerah. Peran sentralnya dalam pola hubungan pusat-daerah yang bersifat sentralistik di masa Orde Baru, menjadikan Jakarta sebagai kota yang majemuk. Keberagaman tersebut merupakan ekses dari tingginya angka urbanisasi.

Dalam perkembangannya, pembangunan fisik di Jakarta begitu signifikan. Berbagai gedung pencakar langit dan pusat-pusat perbelanjaan modern tumbuh pesat. Jakarta seolah berlomba dengan kota-kota besar di Asia, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Namun pembangunan fisik tersebut telah melupakan pembangunan manusianya. Warga kota akhirnya harus hidup dalam tiang-tiang beton yang menjulang, bukannya pohon-pohon yang rindang. Terlebih pembangunan fisik di Jakarta tidak memperhatikan dampak terhadap arus lalu lintas dan lingkungan. Akibatnya mudah ditemuinya simpul-simpul kemacetan dengan tingkat polusi yang tinggi.

Pemerintah daerah selaku pemangku kepentingan di Jakarta, bukannya tidak melakukan apa-apa. Berbagai terobosan untuk mengurai berbagai problematika dilahirkan. Namun persoalan-persoalan klasik seperti macet, banjir dan kemiskinan seperti tidak pernah berujung. Jakarta terus tumbuh dalam pengertian laju pembangunan fisik, tetapi warga sebagai penghuni kota mengalami degradasi. Tingkat kesehatan warga menurun yang disertai tekanan psikologis yang semakin tinggi, membuat Jakarta tidak lagi ramah bagi warganya.

Ibukota yang terabaikan

Posisinya sebagai ibukota negara mengharuskan keterlibatan aktif pemerintah pusat dalam perencanaan pembangunan kota Jakarta. Pembangunan Jakarta yang terkesan tanpa arah menuntut peran aktif pemerintah pusat. Jakarta selama ini terkesan diabaikan oleh pemerintah pusat. Sebagai ’warga’ di Jakarta sudah seharusnya Pemerintah Pusat mengambil posisi strategis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Jakarta.

Keterlibatan pemerintah pusat juga menuntut kepemimpinan yang handal dari figur gubernur DKI Jakarta. Kepemimpinan di Jakarta dituntut harus mampu bersinergi dengan pemerintah pusat dalam setiap kebijakannya. Gubernur tidak bisa hanya memainkan peran simbolik dalam keprotokolan Presiden. Namun juga harus mampu tampil sebagai ’panglima’ wilayah yang tegas, berani, jujur dan bertanggung jawab.

Hadirnya Undang-Undang No.29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan manifestasi atas peran Jakarta dalam kerangka NKRI. Namun UU ini tidak juga menjawab persoalan sesungguhnya di Jakarta. Peran strategis Jakarta hanya dimaknai oleh secarik kertas. Terlebih alokasi pendanaan pembangunan Jakarta yang diamanatkan dalam UU tersebut hingga kini belum terealisasi.

Dana Melimpah

Sebagai Ibukota negara, Jakarta diuntungkan dengan keberadaan kantor-kantor pusat perusahaan multi nasional dan nasional. Keberadaan mereka merupakan berkah, karena limpahan dana yang berbentuk pajak menjadi tersebut tulang punggung pembangunan di Jakarta.  Tercatat kemampuan APBD DKI Jakarta pada tahun 2011 mencapai Rp.  31,07 triliun.

Pendapatan tersebut belum termasuk Dana Dekonsentrasi Rp. 606,47 miliar dan tugas pembantuan sebesar Rp. 648,51 miliar. Dengan limpahan dana tersebut Jakarta mampu menyelenggarakan pendidikan wajib 9 tahun, dengan porsi lebih dari 20% untuk sektor pendidikan. Tetapi limpahan dana tersebut tetap tidak mampu ditransformasikan menjadi sebuah kebijakan yang komprehensif dalam memecahkan persoalan krusial dan klasik di Jakarta.

Kota Budaya, Manusia berbudaya

Pembangunan kota yang mengabaikan pembangunan manusianya, niscaya akan menjadi kota mati. Derap dan langkah pembangunan fisik tidak akan seirama dengan kebutuhan manusia. Berkaca dari Singapura, sebuah negara kota di semenanjung malaka. Jakarta seharusnya memulai pembangunan kotanya dari manusianya, warga Jakarta. Sebagai negeri yang hidup dengan nilai-nilai atau kearifan lokal, titik tolak pembangunan di Jakarta adalah budaya.

Jakarta tumbuh sebagai kota yang tidak berbudaya. Budaya dimaksud bukannya dalam artian sempit adat-istiadat semata. Tetapi lebih kepada karakter warganya. Dipersimpangan-persimpangan jalan tergambar jelas ketidakberadaban warga Jakarta. Bus dan angkotan kota dengan mudanya berhenti dipinggir jalan, pengendara motor dengan mudah menerobos lampu lalu lintas, hingga pedagang kaki lima yang serampangan menggelar dagangannya.

Pemerintah provinsi harus mampu membentuk karakter warganya. Karakter tersebut hanya mungkin terbentuk, bila terbentuk budaya disiplin. Selayaknya kota Singapura, yang terkenal dengan banyaknya aturan dan denda yang tegas. Namun Singapura mampu tumbuh menjadi kota yang layak huni bahkan menjadi tujuan utama pariwisata. Pemerintah kota harus berani membuat terobosan untuk meningkatkan kedisiplinan warganya dengan aturan-aturan yang tegas.

Kepemimpinan yang berkarakter

Pada akhirnya pembangunan baik fisik maupun manusia di Jakarta akan berpulang kepada pemimpinnya. Pemimpin yang berkarakter adalah kuncinya. Dengan masyarakat yang majemuk, kepemimpinan yang egaliter dan inklusif adalah prasyarat utama. Setelahnya jiwa kepemimpinan yang mampu diteladani adalah syarat berikutnya. Selanjutnya pemimpin yang tegas, berani, jujur dan bertanggung jawab adalah sebuah ciri-ciri pemimpin yang dianggap mampu memimpin Jakarta.

Membangun masyarakat dan kota yang berbudaya tanpa pemimpin yang berbudaya adalah sebuah kemustahilan. Untuk itu pemimpin di Jakarta harusnya yang berbudaya. Memiliki integritas tinggi yang memahami jabatannya sebagai sebuah amanah. Sehingga mampu bersikap sidiq, fatonah dan tabliq dalam mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun