By : Hamdan Budiman
Dor,... dor,... dor,... suara senjata menyalak. Man Kopek terjerembab ke tanah di sudut belakang rumahnya. Darah berceceran. Tiga peluru dari senjata serbu jenis SS - 1 yang dilepas secara beruntun menghujam punggung, tembus ke dadanya. Dia tersungkur mencium tanah. Kakinya tersangkut di pagar. Tragis !
Tiba-tiba suasana menjadi beku, senyap sesunyi gunung. Man Kopekpun tak bergerak lagi, lalu terdiam kaku, diam dalam hening sunyi yang damai. Dia tidak tahu apa-apa lagi dan tak ada yang tahu, bagaimana terakhir kalinya, karena setelah itu senja kala turun menyergap. Gelap malam menyilimuti.
Mangrib itu, muazin tidak berani keluar rumah. Gampong Padang Meurandeh tiba-tiba menjadi sunyi senyap, tidak ada suara berisik.
Man Kopek, tiba di rumah menjelang magrib, meugang hari raya puasa. Sudah enam bulan dia tidak pernah pulang. Istrinya mengangkat segelas kopi, bersama leumang untuk berbuka puasa.
Deknong, anak bungsu berumur dua tahun duduk dipangkuannya. Dua anak lelaki, belum masuk sekolah dasar itu juga ikut duduk disamping, ketika tendangan pintu terdengar sangat keras. “Man Kopek, keluar kamu !”
Karena terkejut, secara reflek ia meloncat lewat jendela belakang, lalu melewati pagar secepat kilat. Ya Allah ! bajunya tersangkut di pagar. Rupanya rumah panggung sederhana itu telah dikepung.
Istrinya tidak kuasa menahan ketakutan, ia menggigil dan mengerang, lalu jatuh pingsan, ketiga anaknya menjerit-jerit menembus awan, menembus kaki langit temaram senja Ujong Manggeng. Mak,...ee’ Due,... Mak,..ee’ Due,.. Mak,.. Due,...eee’ ! Teriak ketiga anaknya tak henti-henti.
Deknong, tangisannya terdengar keras. Leumang suum baru saja diangkat dari panteu, menyembur keluar begitu saja dari mulutnya. Cangkir, gelas, piring berbahan plastik berserangkan di lantai.
Dapur sempit yang juga berfungsi sebagai ruang makan itu, sangat semraut, centang-perenang. Nasi, leumang, dan air kopi campur-aduk, berceceran di mana-mana.
Mak,...ee’ Mak,...ee’ Mak,..ee’’. teriak perempuan kecil itu berkali-kali, Ibunya tergelatak begitu saja. Ia menggoyang-goyang kepala, tapi ibunya tetap diam tak bergerak. Membukam seperti patung. Ketiga anak itu terus menangis, ratapannya melengking pilu, mengiris seperti sayatan sembilu. Penghuni liar rawa angker Suak Udeung, di belakang rumah itu, juga seperti tak berdenyut. Hembusan angin seperti sengaja dimatikan. Sangat mencekam.