Mohon tunggu...
Hamdan Budiman
Hamdan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Lhok Pawoh, Kecamatan Manggeng, Aceh Barat Daya, Lulusan Unsyiah jurusan Bahasa dan Seni, Jurnalis, aktivis LSM, dan Aktivis Partai Politik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Man Kopek

9 November 2014   03:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By : Hamdan Budiman

Dor,... dor,... dor,...  suara senjata menyalak. Man Kopek terjerembab ke tanah di sudut belakang rumahnya. Darah berceceran. Tiga peluru dari senjata serbu jenis SS - 1 yang dilepas secara beruntun menghujam punggung, tembus ke dadanya. Dia tersungkur mencium tanah. Kakinya tersangkut di pagar. Tragis !

Tiba-tiba suasana menjadi beku, senyap sesunyi gunung. Man Kopekpun tak bergerak lagi, lalu terdiam kaku, diam dalam hening sunyi yang damai. Dia tidak tahu apa-apa lagi dan tak ada yang tahu, bagaimana terakhir kalinya, karena setelah itu senja kala turun menyergap. Gelap malam menyilimuti.

Mangrib itu, muazin tidak berani keluar rumah. Gampong Padang Meurandeh tiba-tiba menjadi sunyi senyap, tidak ada suara berisik.

Man Kopek, tiba di rumah menjelang magrib, meugang hari raya puasa. Sudah enam bulan dia tidak pernah pulang. Istrinya mengangkat segelas kopi, bersama leumang untuk berbuka puasa.

Deknong, anak bungsu berumur dua tahun duduk dipangkuannya. Dua anak lelaki, belum masuk sekolah dasar itu juga ikut duduk disamping, ketika tendangan pintu terdengar sangat keras. “Man Kopek, keluar kamu !”

Karena terkejut, secara reflek ia meloncat lewat jendela belakang, lalu melewati pagar secepat kilat. Ya Allah ! bajunya tersangkut di pagar. Rupanya rumah panggung sederhana itu telah dikepung.

Istrinya tidak kuasa menahan ketakutan, ia menggigil dan mengerang, lalu jatuh pingsan, ketiga anaknya menjerit-jerit menembus awan, menembus kaki langit temaram senja Ujong Manggeng. Mak,...ee’  Due,... Mak,..ee’ Due,.. Mak,.. Due,...eee’ ! Teriak ketiga anaknya tak henti-henti.

Deknong, tangisannya terdengar keras. Leumang suum baru saja diangkat dari panteu, menyembur keluar begitu saja dari mulutnya. Cangkir, gelas, piring berbahan plastik  berserangkan di lantai.

Dapur sempit yang juga berfungsi sebagai ruang makan itu, sangat semraut, centang-perenang. Nasi, leumang, dan air kopi campur-aduk, berceceran di mana-mana.

Mak,...ee’ Mak,...ee’ Mak,..ee’’. teriak perempuan kecil itu berkali-kali, Ibunya tergelatak begitu saja. Ia menggoyang-goyang kepala, tapi ibunya tetap diam tak bergerak. Membukam seperti patung. Ketiga anak itu terus menangis, ratapannya melengking pilu, mengiris seperti sayatan sembilu. Penghuni liar rawa angker Suak Udeung, di belakang rumah itu, juga seperti tak berdenyut. Hembusan angin seperti sengaja dimatikan. Sangat mencekam.

Tepat pukul 00.00 WIB, satu dua orang warga keluar rumah dengan harap-harap cemas, ketakutan membuat sangat was-was. Perintah menguburkan mayat Man Kopek, membuat mereka sangat terpaksa.

“Kita harus melaksanakan fardhu Kifayah malam ini juga, sebab besok hari raya”  Kata Keucik dari pengeras suara Mushalla. Diawasi oleh orang-orang bersenjata Man Kopek diantar ke liang lahat malam naas itu juga !

Kopek atau Man Kopek  hanya nama sandi, setelah dia bergabung dengan gerakan bersenjata, nama aslinnya Banta Sulaiman. Dia minta izin untuk menjenguk anaknya. Ia sangat rindu anak-anaknya. Ia berjanji, hanya satu malam saja, ya hanya satu malam ulangnya.  “Uroe get, buleun get, leupek mak peuget, han teume rasa”, kelakarnya.

Padahal keadaan sangat gawat, penyergapan di mana-mana, jalan – jalan tikus yang biasanya digunakan menyuplai infomasi dan makanan semua dijaga. Minggu lalu, markas utama di Uteun Kaye Lee Bak, dibombardir dengan pesawat tempur, tapi sasarannya meleset.

Man Kopek dan kawan-kawan anggota gerakan, hanya menyaksikan manuver-manuver pesawat jenis Sukhoi yang baru dibeli dari Rusia itu, sambil menutup rapat-rapat telinga, karena dentuman keras menggelegar seperti suara petir menyambar.

“Kalua saya selamat, akan membawa makanan ke markas”, katanya terakhir kali sebelum menyusuri jalur lintas Lhok Batee Intan yang terjar berbatu, tebing gunung curam, dan berliku-liku.

“Senjata tidak boleh dibawa”,  kata komandannya.

“Kalau mau bawa senjata, tunggu saja beberapa hari lagi, ketika kita sudah memiliki informasi yang cukup”, tandas Pangliama Beurahim padanya.

Man Kopek sempat kecut juga, walaupun sebenarnya ia tergolong pemberani, ketika tiba-tiba  pertempuran Paya Laot dua bulan lalu kembali melintas dalam ingatannya. Waktu itu ia hanya bertugas memegang radio, tetapi tiba-tiba ia harus mengokang dua senja sekaligus, untuk melepaskan diri dari sergapan sambil memopong temannya yang terluka.

Ia teringat penyergapan Panton Makmu, usai makan kenduri di rumah Panglima Sagoe Teungku Lhok Pawoh, sore itu. Pertarungan sangat tak berimbang, tujuh orang kawanya meninggal dunia dan tiga pucuk senjata, jenis AK 47 hilang pada siang itu.

Begitu juga kontak senjata Padang Raya Bruek yang menewaskan Yong Beutong dan tiga temannya. “Tapi pertempuran terakhir itu, bak laga film action, pihak lawan juga banyak jatuh korban, na perlawanan”, gumamnya dalam hati, miskipun lirih.

Beutong itu selain bertubuh kekar, juga pemberani dan pasukan lawan kerap dibuat kecut nyalinya, siang naas itu terjadi kontak senjata yang panjang. Beutong terkepung di sebuah rumah tua, tiba-tiba granat dilempar ke atap.
Bersama tiga kawannya, Beutong meloncat ke luar rumah sambil melepaskan tembakan. “Mungkin itu yang dinamakan heroik, tidak pernah ada kata menyerah”, Man Kopek membatin.

Dan memang setelah enam bulan pernyataan bahaya, banyak kawan-kawannya telah tiada, pasukannya sudah terpencar-pencar dalam kelompok kecil, tidak terkonstrasi lagi seperti dulu, komunikasi juga sudah terputus.
Ia ingat, betapa ia harus menggedor rumah orang kampung ditengah malam buta untuk meminta makanan, beberapa temannya di markas yang jauh di hutan sering mengalami kelapan, karena ketiadaan makanan. Bahkan sudah tiga orang meninggal, karena jatuh sakit malaria.

Man Kopek tidak punya pirasat apa-apa, lalu beristirahat sejenak, karena sudah seharian berjalan. Ia berdoa dalam hati, semoga  selamat menjumpai anak-istrinya. Dia tahu, anak-anak juga sudah sangat rindu, karena sudah enam bulan tidak pernah berjumpa, sejak pemberlakuan keadaan bahaya dimulai.

“Pasti gadis kecilnya, sudah sangat pintar bicara”, bisiknya dalam hati sambil tersenyum kecil, miskupun risau karena anak-anaknya tidak dibeli baju baru.

“Sekarang pasti dia sudah ada di kampung, kan ini menyambut lebaran, ia pasti mudik lebaran, sepatu pesanannya telah ada”, Man Kopek menerawang kemana-mana. Dia ingat janji temannya untuk membeli sebuah sepatu.

Kawannya yang telah enam bulan berangkat ke kota, semoga telah pulang dan sepatu pesanannya telah ada. “Sepatu saya sudah robek, tolong belikan sepatu yang tahan dibawa ke hutan”, pinta Man Kopek pada temannya kala itu.
Sebenarnya Man kopek, masuk menjadi anggota gerakan bersenjata spontan saja, miskipun harus mebayar 60 ribu untuk ikut latihan militer di kam, desa Tokoh, karena memang tahun 1999 itu, semua pemuda ikut latihan dasar-dasar kemiliteran. Kemudian ia ikut latihan lanjutnya di pegunungan Kreung Batee.

Man Kopek hanya tamatan sekolah dasar yang berprofesi sebagai nelayan untuk menghidupi keluarganya. Dia tidak begitu paham politik. Yang ia rasakan, hidup begitu susah.

“Ini pasti ada ketidak adilan, maka perlu ada perbaikan menegakkan keadilan, agar anak-anak kita nanti bisa belajar dengan tenang”, katanya sekali waktu.

Ia telah mendekati perkampungan penduduk. Ia telah melewati pinggir Gampong Ladang Panah, dan pegunungan Pusu Jaya ketika matahari kian rebah ke barat. Secara mengendap-ngendap ia melintasi sawah yang luas membentang antara Gampong Paya dan Pante Raja.

Kemudian masuk ke rawa ‘angker’ Paya Lhok yang berada di ujung Gampong Padang Manggis. Ia tertatih-tatih dan letih. Ia harus hati-hati, karena Paya Lhok, rawa-rawa yang dalam, kalau terperosok, bisa tenggelam sampai kepala terbenam.

Kaki langit sudah memerah saga, matahari baru saja ditelan laut Samudera Hindia ketika Man Kopek menyelinap masuk lewat pintu belakang, seraca pelan mengucapkan salam Assalamu’alaikum. Istri dan anaknya menjawab Wa’alaikumsalam. Tak terasa istrinya menitikkan air mata haru, karena besok hari raya. Suaminya bisa berkumpul bersama.

Ternyata salam ditemaran senja kala itu, adalah do’a terakhir dari suaminya, agar ia kuat melanjutkan perjalanan menyelusuri sepanjang lorong waktu, zaman, dan sejarah yang datang dan pergi, terus berganti-ganti, berubah-ubah, meski dengan selingkar luka !!!
Banda Aceh, 7 Juni  2012
Keterangan
Mak = Ibu
Due = Ayah, Bapak
Pernah dimuat di Atjehpost.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun