Beutong itu selain bertubuh kekar, juga pemberani dan pasukan lawan kerap dibuat kecut nyalinya, siang naas itu terjadi kontak senjata yang panjang. Beutong terkepung di sebuah rumah tua, tiba-tiba granat dilempar ke atap.
Bersama tiga kawannya, Beutong meloncat ke luar rumah sambil melepaskan tembakan. “Mungkin itu yang dinamakan heroik, tidak pernah ada kata menyerah”, Man Kopek membatin.
Dan memang setelah enam bulan pernyataan bahaya, banyak kawan-kawannya telah tiada, pasukannya sudah terpencar-pencar dalam kelompok kecil, tidak terkonstrasi lagi seperti dulu, komunikasi juga sudah terputus.
Ia ingat, betapa ia harus menggedor rumah orang kampung ditengah malam buta untuk meminta makanan, beberapa temannya di markas yang jauh di hutan sering mengalami kelapan, karena ketiadaan makanan. Bahkan sudah tiga orang meninggal, karena jatuh sakit malaria.
Man Kopek tidak punya pirasat apa-apa, lalu beristirahat sejenak, karena sudah seharian berjalan. Ia berdoa dalam hati, semoga selamat menjumpai anak-istrinya. Dia tahu, anak-anak juga sudah sangat rindu, karena sudah enam bulan tidak pernah berjumpa, sejak pemberlakuan keadaan bahaya dimulai.
“Pasti gadis kecilnya, sudah sangat pintar bicara”, bisiknya dalam hati sambil tersenyum kecil, miskupun risau karena anak-anaknya tidak dibeli baju baru.
“Sekarang pasti dia sudah ada di kampung, kan ini menyambut lebaran, ia pasti mudik lebaran, sepatu pesanannya telah ada”, Man Kopek menerawang kemana-mana. Dia ingat janji temannya untuk membeli sebuah sepatu.
Kawannya yang telah enam bulan berangkat ke kota, semoga telah pulang dan sepatu pesanannya telah ada. “Sepatu saya sudah robek, tolong belikan sepatu yang tahan dibawa ke hutan”, pinta Man Kopek pada temannya kala itu.
Sebenarnya Man kopek, masuk menjadi anggota gerakan bersenjata spontan saja, miskipun harus mebayar 60 ribu untuk ikut latihan militer di kam, desa Tokoh, karena memang tahun 1999 itu, semua pemuda ikut latihan dasar-dasar kemiliteran. Kemudian ia ikut latihan lanjutnya di pegunungan Kreung Batee.
Man Kopek hanya tamatan sekolah dasar yang berprofesi sebagai nelayan untuk menghidupi keluarganya. Dia tidak begitu paham politik. Yang ia rasakan, hidup begitu susah.
“Ini pasti ada ketidak adilan, maka perlu ada perbaikan menegakkan keadilan, agar anak-anak kita nanti bisa belajar dengan tenang”, katanya sekali waktu.
Ia telah mendekati perkampungan penduduk. Ia telah melewati pinggir Gampong Ladang Panah, dan pegunungan Pusu Jaya ketika matahari kian rebah ke barat. Secara mengendap-ngendap ia melintasi sawah yang luas membentang antara Gampong Paya dan Pante Raja.
Kemudian masuk ke rawa ‘angker’ Paya Lhok yang berada di ujung Gampong Padang Manggis. Ia tertatih-tatih dan letih. Ia harus hati-hati, karena Paya Lhok, rawa-rawa yang dalam, kalau terperosok, bisa tenggelam sampai kepala terbenam.
Kaki langit sudah memerah saga, matahari baru saja ditelan laut Samudera Hindia ketika Man Kopek menyelinap masuk lewat pintu belakang, seraca pelan mengucapkan salam Assalamu’alaikum. Istri dan anaknya menjawab Wa’alaikumsalam. Tak terasa istrinya menitikkan air mata haru, karena besok hari raya. Suaminya bisa berkumpul bersama.