By : HAMDAN BUDIMAN
RAMBUTNYA telah memutih seperti kapas, ubanan itu sudah merata dan menyeluruh, sangat khas. Kulit hitam, persis etnis Tamil Nadu, di India. Matanya yang tajam, hidung mancung, dan tawanya selalu mengembang, kelihatan giginya putih rapi.
Pak Leman. Orang -orang menyebut beliau etnis keling, atau Leman Kleng. Meskipun “kleng” di Aceh sering mendapat streotip tertentu, seperti uroe raya kleng, Pak Leman tidak pernah mempersoalkan hal-hal seperti itu.
“Nyoe baroe uroe raya kleng, nyoe lambong-lambong kupiah,” Pak Leman membuka pembicaraan, siang itu di Warung Kopi Pojok, milik Bang Lah.
“Teh siteungoh panah,” ujarnya pada pemilik warung, sambil mengambil kursi cadangan milik warung pinggir jalan tersebut, karena memang kursi-kursi semua sudah terisi penuh. "Kalau ibarat naik bus zaman dulu, saya ini duek bak tong,” ujar Pak Leman sambil terkekeh.
“Bakal ada kenduri besar, pada pelantikan Kepala Pemerintah Aceh yang baru terpilih dalam Pilkada tanggal 9 April 2012 lalu, nyoe uroe raya kleng, rakyat lambong-lambong kupiah, dan bakal meuminyeuk mise,” tambah Pak Leman di sela derai tawa peserta diskusi khas keude kupi Aceh.
Diskusi di kedai itu biasa membincangkan beragam tema, tanpa moderator, tanpa mekanisme seperti di ruang-ruang full AC milik anggota dewan atau aula hotel berbintang dengan tema-tema, kemiskinan, penggangguran, dan lingkungan hidup yang kerap dilakukan para aktivis NGO/LSM.
Pak Leman bukan hendak membahas teori konspirasi ketika mengatakan, kekuasan politik seperti bendungan air. Pengalaman hidupnya yang sudah lebih dari setengah abad, membantu menjelaskan, bahwa realitas-realitas politik yang terjadi di lingkaran kekuasaan memang beragam perumpamaan. Lingkar istana dari dulu, tidak pernah sepi dari intrik dan konspirasi politik.
"Kalau dinding utama bendungan bocor di tempat-tempat sangat rahasia yang sulit terdeteksi akan menjadi sangat susah untuk memperbaikinya, tapi kalau kebocoran itu terjadi pada saluran-saluran tersier atau saluran-saluran kecil menuju sawah petani akan sangat mudah terdeteksi dan diperbaiki," kata Pak Leman tanpa peduli apakah peserta diskusi paham tentang tema yang sangat serius itu.
Lingkar dalam istanalah yang sangat dominan mempengaruhi jalannya kekuasaan, dan di lingkaran itu pula tempat terjadinya pertarungan yang sesungguhnya. Beragam kepentingan saling-silang bertabarakan dan berakhir dengan perpecahan. “Di laot sapeu pakat, ‘oh troek u darat laen keunira. Begitulah politik ureung Aceh, kalau bukan seperti itu, kon ureung Aceh," ujar Pak Leman bersemangat.
Tentu saja, Pak Leman dengan lancar mengisahkan jalannya sejarah Politik Ureung Aceh. Bagai seorang ahli sejarah, Pak Leman mengisahkan tentang peran politik Pang Tibang yang mengawali babak sejarah Perang Aceh.
Invansi Belanda 23 Maret 1873 itu kemudian mengantarkan Aceh dalam kancah perang yang berbabak-babak. Prang Aceh dengan Belanda dikenal dengan perang yang panjang dan melelahkan, korban jatuh dari kedua belah pihak sangat besar.
Stigma Pang Tibang sampai hari ini masih terus hidup di tengah masyarakat, akibat pengkhianatan Pang Tibang terhadap Kerajaan Aceh dan Pang Tibang mendapat kepercayaan Sultan Aceh sebagai diplomat yang diutus ke luar negeri untuk melakukan diplomasi politik dengan dunia internasional.
Perilaku politik orang Aceh masih sulit ditebak, usai kemerdekaan Indonesia konflik politik juga memiliki episode–episode. Katakan saja awal tahun 1950-an, apa yang disebut dengan pemberontakan DI-TII yang digerakkan oleh Teungku Daud Beureueh, setelah Soekarno ingkar janji terhadap perlakuan khusus untuk Provinsi Aceh.
Bukan status khusus yang didapatkan, malah Provinsi Aceh dihapus dan dileburkan dalam Sumatera Utara. Lalu mantan Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo, Abu Beureueh mengangkat senjata melawan Indonesia dan berakhir dengan Ikrar Lamteh pada tahun 1957.
Lalu tahun 1976, Dr. Hasan Muhammad di Tiro, kembali membuka babak baru hubungan Aceh–Jakarta setelah mendeklarasikan Aceh Merdeka. Aceh kembali berdarah-darah. Rezim Orde Baru yang bercirikan militeristik, menerapkan kebijakan sangat represif dengan berbagai sandi operasi, seperti operasi Jaring Merah.
Penghilangan paksa dan pembunuhan ektrajudisial menjadi hal yang biasa sepanjang tahun, hingga ribuan, bahkan puluhan ribu orang hilang tak berbekas, mayat-mayat tanpa identitas bergelimpangan di jalan-jalan.
Ketika itu, Aceh ditetapkan sebagai daerah hotspot, bersama Timor Timur dan Papua. Bahkan setelah rezim Soeharto ditumbangkan, Habibie menjadi presiden sementara, lalu kemudian digantikan oleh Gus Dur di Aceh diberlakukan berbagai jenis operasi yang lebih "soft" dari sudut namanya, seperti Operasi Cinta Meunasah dan darurat sipil yang didahului permintaan maaf Wiranto di Lhokseumawe kepada rakyat Aceh, atas kekejaman militer di Aceh. Tapi malah pada 19 Mei 2003, Aceh ditetapkan sebagai daerah perang, dengan status darurat militar oleh Megawati Seokarno Putri yang menjadi presiden menggantikan Gus Dur di tengah jalan.
Lalu pada 15 Agustus 2005, pasca gempa dahsyat dan tsunami melanda Aceh 24 Desember 2004, kesepakan damai tercapai di Helsinki, Finlandia, akankah menjadi episode akhir dari sejarah perang melelahkan sejak zaman Belanda, Jepang, dan pasca Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945? Akankah, tanya Pak Leman, seperti menyiratkan kekhawatiran. Sementara peserta diskusi keude kupi terdiam, sambil mengagumi betapa ingatan Pak Leman sangat baik.
“Ingatan itu sejarah,” kata Pak Leman. Dan sejarah adalah cermin perbandingan dari masa lalu untuk menata masa depan. Bukankah semestinya luka-luka sejarah itu tidak terulang lagi di masa depan, keledai saja tidak jatuh pada lubang yang sama, maka kita perlu menghindari.
“Rapat Cangguk,” ujar Pak Leman, sambil tertawa, ha ha ha. Rapat Cangguk itu, hanya membuat kebisingan, memproduksi informasi melalui suara-suara kadang tak berirama, tetapi mampu membuat bising di sekitar pemegang kekuasaan.
Kelompok kepentingan melakukan rapat-rapat kecil dengan anggota satu sampai tujuh orang, untuk membahas jabatan kepala dinas, dan bagi-bagi fee proyek, dan orang-orang yang perlu disingkirkan.
Kalau cangguk lam paya, hanya melakukan rapat di musim hujan, mereka juga berkumpul satu sampai tujuh ekor, pertama yang lebih dewasa meneriakkan peuuuttt, lalu disahut oleh rekannya, naaammmm, saboh mok, dua kai, teriak yang peserta rapat yang lain. Hana breuh, meuutang, enteng, enteng, enteng, seu’ot aneuk abik-abik.” Peuuut, Naaammm, Saboh Mok Dua Kai, Hana Peng, Meutang, enteng, enteng, enteng![atjehpost.com]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H