By : Hamdan Budiman
Ketika menyusuri kawasan itu, seperti masuk ke jalan tikus, nyaris tak berbekas jejak alat berat. Badan jalan kembali menjadi semak belukar, bahkan sudah banyak yang putus, serta jembatan atau gorong-gorong hancur berkeping-keping.
Sekitar lima kilometer dari jalan negara Meulaboh - Blangpidie, dari Gampong Ie Mirah, Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya, masuk ke dalam, ada pemandangan lebih menakjubkan, miris, dan ironi yang dipertontonkan oleh sebuah ego kekuasaan.
Di tempat itu, ya di rawa-rawa itu, Tiga Puluh Milar uang rakyat seperti dibuang begitu saja ke laut lepas, diterlantarkan, dibuat mubazir, bahkan mesum rekor Indonesi atau MURI perlu mencatat kandang sapi termahal mahal di dunia adalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Desa Persiapan Lhok Gayo, Kecamata Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya.
Sementara, "Jalan tiga puluh" adalah jalan yang lebarnya 30 meter, gagasan Bupati Akmal Ibrahim diawal pemerintahannya pada 2008 lalu, untuk menghubungkan gampong-gampong terisolasi di pesisir Samudera Hindia, serta membuka isolasi kawasan pesisir.
Pembukaan Jalan Tiga Puluh, menghabiskan anggaran puluhan milyar menuai kontroversi yang sama dengan pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) karena beredar selentingan pembukaan jalan itu hanya sekedar untuk memudahkan akses ke kebun sawit milik pejabat, termasuk milik bupati saat itu, yang memiliki lahan sawit mencapai ratusan hektar.
Begitu juga PKS menyedot dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh sekitar 30 milyar, kecuali bukan skala prioritas waktu itu, juga perusahaan pengelola mengundang tanda-tanya masyarakat.
Saat ini, puluh milyar dana otsus itu, bak ditelan keheningan rimba raya, tak berbekas. Badan jalan cukup lebar untuk ukuran pembukaan jalan baru di Aceh telah dibangun beberapa kilometer sekitar enam tahun lalu kembali menjadi semak belukar. Sulit dilewati dengan kenderaan roda dua sekalipun.
Padahal peresmian pembukaan jalan, dilakukan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar waktu itu, untuk mewujudkan obsesi meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian dan perkebunan rakyat, seperti coklat, sawit, kacang tanah, jagung dan lain-lain di kabupaten berjulukan ‘Breuh Sigupai’, itu.
Kontroversi setelah tidak mendapat persetujuan DPRK dalam sidang paripurna, Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau Pabrik Crude Palm Oil (CPO), adalah pemindahan mendadak lokasi yang semula di Desa Gunung Samarinda, Kecamatan Babahrot ke Desa Persiapan Lhok Gayo dalam kecamatan yang sama.
Akmal Ibrahim, waktu itu mengatakan pemindahan lokasi pabrik PKS menyangkut ganti rugi lahan pertapakan yang tidak tercapai kesepakatan dengan pemilik. Padahal di lokasi itu, selain sudah ada Amdal, juga sudah dibersihkan, bahkan sudah diletakkan batu pertama yang kemudian menjadi batu terakhir. Sedangkan lahan sekarang di bangun, jauh dari pinggir jalan negara, berdasarkan temuan BPKP dibangun sebelum adanya Amdal.
Rangkaian kontroversi seputaran PKS itu, terus bergulir sampai jauh, bagai mana bisa, Ketua DPRK waktu itu, M. Yusuf dari Partai Aceh, bisa membunuh kan tanda-tangan persetujuan terhadap pembanguan pabrik, padahal mayoritas Anggota Dewan setempat tidak menyetujui. Sedang Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengatakan, memang belum ada PKS yang dibangun pemerintah, karena tidak efesien, tapi saya sudah tanda-tangani penggunaan dana pembangunan PKS itu, karena itu usulan dan kewenangan bupati setempat.
Selanjutnya, pengelola diserahkan pada, PT Shamira Agro Abdya dibentuk melalui Notaris Suparno,SH,M.kn di Jakarta, katanya anak perusahaan BUMD setempat, sementara Direktur Utama, Armiyus. Sedangkan Drs Jufrizal S Umar.M.Si, waktu itu Sekdakab Abdya, memiliki saham senilai Rp 6,24 M, Ir.Said Wazir (Mantan Kadis PU Abdya), Rp 2, 16 M. Sedangkan Yunus Mawardi (Mantan Sekdakab Abdya) bertindak atas surat kuasa Bupati Abdya Akmal Ibrahim SH, memilik saham sebagai mana tertera dalam akte notaris senilai Rp. 1,8 M.
Terkait hal ini, proyek PKS di Abdya tahun 2010 ini juga menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh. Bahkan Pansus DPRA juga menemukan banyak persoalan administrasi dan anggaran terhadap proyek yang didanai oleh Otsus Kabupaten Abdya tahun 2010 sebesar Rp 30 miliar. Laporan Pansus DPRA itu menyebutkan hingga kini proyek tersebut belum rampung dikerjakan secara baik.
Hari-hari ini, media lokal gencar memberitakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh mengungkapankan, dari Rp 21,1 triliun dana otonomi khusus (otsus) yang diterima Aceh sejak 2008 hingga 2012, ada sekitar Rp 5,1 triliun atau 24,17 persen tidak tepat sasaran atau belum fokus penggunaannya.
Lalu, apakah pembukaan “Jalan tiga puluh” dan PKS di Aceh Barat Daya adalah bagian dari temuan itu, kalau jawannya benar, apa yang bisa dilakukan rakyat, selain menyaksikan 30 milyar pelan-pelan menjadi besi tua, hilang di pedalaman hutan pesisir Samudare Hindia. Sementara wartawan, aktifis, pegiat LSM gencar menulis, melaporkan entah kepada siapa tentang pembangunan yang tidak partisipatif, tentang para pejabat yang egois dan prakmatis.
Matahari yang tadi menyengat kulit, kini telah memerah saga, kaki langit terlihat cerah di desa Ie Mirah, gampong di pinggir jalan Meulaboh – Blangpidie itu. Hanya satu dua orang terlihat duduk di warung kopi sambil bercengkrama tentang politik, ekonomi, pembangunan, lapangan kerja, keadilan, dan pemerataan tanpa moderator, miskipun terlihat sengit saling mengintrupsi dengan berbagai argumentasi.
Persis persimpangan menuju Trangon, Gayo Lues disisi kanan, dan sisi kiri dengan titik nol ‘jalan tiga puluh’, salah satu subtema adalah tentang rencana Bupati Jufri Hasanuddin yang ingin membangun pelabuhan internasional di pedalaman “Surin” puluhan milyar dana otsus ingin digelontorkan untuk pembangunan dermaga sandar prestius yang berbalut ambisius, kalau tidak mau disebutkan sebuah egoisme dan keangkuhan kekeuasaan.
Karena alasan perencanaan, karena komoditas apa yang akan diangkut dari pelabuhan yang nun jauh ditempat paling terpencil di Aceh Barat Daya, serta belum didukung oleh sarana prasarana jalan, jembatan, listrik dan lain-lain. Apakah pembangunan pelabuhan itu akan bernasip sama dengan PKS, diterlatarkan, dimubazirkan ditengah kebutuhan sarana-sarana publik yang kecil dan mendesak, seperti sarana air bersih, listrik dan akses jelan ke lahan pertanian, perikanan, semisal modernisasi alat tangkap nelayan, dan alat-alat pertanian.
Dengan catata-catatan ini, dan temuan-temuan aparat yang ditugaskan negaramelakukan pengawasan, bisakah rakyat berharap pada pemerintah menegakkan supremasi hukum agar pembangunan dan pemberdayaan ekonomi rakyat benar-benar berbasis keadilan dan pemerataan, sera menjadikan Aceh sebagai bandar ekonomi yang maju dengan dana yang melimpah dari Otsus berbatas waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H