Terus terang, saya menulis artikel ini bukan untuk menjelek-jelekkan jenama Telkomsel di hadapan publik. Tidak ada niat saya sedikit pun ke arah itu.
Sejak mempunyai HP pada awal tahun 2000-an, saya selalu menggunakan simcard Telkomsel. Yang awalnya susah mendapatkan kartu perdana, dengan masuk "daftar antrean", dan harga simcard yang selangit pada masa awal. Sekitar seratus ribu lebih kalau tidak salah. Itu pun tidak bisa memilih "nomor cantik". Kalau mau dapat nomor cantik, harus merogoh kantong lebih dalam untuk memperolehnya.
Itu doeloe.
Seiring waktu berjalan, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dan beragam telepon seluler yang semakin "pintar", kartu perdana dari berbagai penyedia jaringan internet tumbuh subur, menjamur bak cendawan di musim hujan.
Harga yang doeloe-nya berkisar ratusan ribu, sekarang warga bisa memperoleh dengan "mahar" dari hitungan ribuan atau puluhan ribu. Tergantung seberapa "cantik" nomor kartu perdana.
Makin cantik, makin mahal "jujuran"-nya.
Dan penyedia jaringan internet pun mulai "menyemak".Â
Kalau doeloe, Telkomsel seakan menjadi pemain tunggal dalam penyedia jaringan internet mobile nirkabel, lalu menyusul Indosat yang "sedikit" merusak hegemoni dan monopoli Telkomsel.
XL, Tri, Axis, dan lain-lain menyusul setelahnya. Berusaha merebut "secuil" kue yang gurih dari bisnis telekomunikasi.
Ada beberapa provider yang merger, bergabung untuk menggalang kekuatan. Saya tidak terlalu ambil pusing, karena biar seberapa banyak penyedia jaringan internet, untuk di daerah luar Jawa, Telkomsel yang masih menjadi "raja".
BTS yang tersebar di mana-mana menyebabkan anak perusahaan Telkom ini memenangkan persaingan yang sebenarnya tidak seimbang.Â