Saya sudah lama ingin membaca serial Imung. Dari sejak kecil, saya selalu penasaran bagaimana dengan cerita Imung yang legendaris.
Salah satu karya monumental dari Arswendo Atmowiloto ini memang sangat sulit saya temui di Balikpapan, kota kelahiran dan kota dimana saya dibesarkan. Maklum, di saat itu, toko buku belum banyak. Kalau pun ada toko buku, kebanyakan menjual buku-buku pelajaran sekolah.
Waktu kuliah, ada beberapa rental buku. Tapi tetap saja tidak ada novel Imung di sana. Di perpustakaan kota Samarinda dan di perpustakaan provinsi Kaltim, juga setahu saya, tidak ada novel Imung.
Untungnya, Puji Tuhan, dengan adanya aplikasi Perpustakaan Nasional RI atau iPusnas, rasa dahaga untuk membaca novel Imung pupus.
Saya bisa meminjam novel digital Imung dari iPusnas. Memang, kenikmatan membaca novel digital tidak sama dengan kenyamanan membaca novel fisik. Membuka lembaran-lembaran kertas tidak sama dengan menggulir layar ponsel pintar. Sensasinya berbeda.
Tapi memang zaman sudah berubah. Harga buku memang tidak murah di negeri +62 dan buku-buku terbitan lama mungkin tidak dicetak ulang kalau tidak ada permintaan atau minat warga yang sangat besar akan buku-buku lawas tersebut. Otomatis, solusi warga untuk membaca buku dengan mudah dan murah, bahkan gratis, adalah lewat aplikasi perpustakaan semacam iPusnas atau yang sejenis.
Ini adalah buku novel serial "Imung" yang pertama kali saya baca. Dengan cover muka yang berjudul "Imung-Siulan Kematian" menunjukkan bahwa Arswendo menceritakan sosok Imung sebagai detektif remaja yang masih sekolah, namun di balik usianya yang muda, ada otak brilian dalam menuntaskan misteri, entah itu misteri hilangnya suatu barang; hal remeh seputar siapa pelaku pemberi sesuatu di sekolah; sampai misteri pembunuhan.Â
Ada 5 (lima) cerita misteri di buku Imung yang satu ini. "Siulan Kematian" adalah salah satu dari lima cerita misteri tersebut. Memang, Arswendo sangat cerdas dalam memilih judul yang menarik orang untuk membaca. "Siulan Kematian" memang menarik dari segi diksi, pilihan kata. Memikat. Cerita lain, "Sepotong Kaki tak Bertuan" juga menarik. Tapi memang tidak semenarik kalau membaca "Siulan Kematian" yang terkesan mistis dan mengundang rasa penasaran. Sedangkan tiga cerita lainnya, yaitu "Hilangnya Foto Presiden", "Kartu Ulang Tahun", dan "Kaos Kaki Perancis" memang terkesan tidak terlalu mengundang rasa penasaran. Saya menebak tiga cerita tersebut memang terjadi dalam keseharian Imung, baik di lingkup sekolah, maupun lingkungannya.
Alur cerita
Secara pribadi, novel Arswendo yang satu ini tetap memikat saya. Penceritaan yang mengalir lancar dan tidak jauh dari keseharian pembaca membuat novel ini enak untuk dibaca. Belum lagi, percakapan yang terjalin antara sosok Imung dengan beberapa tokoh dalam cerita sangat cair dan akrab.Â
Alur cerita juga maju. Tidak ada flashback yang terkadang malah membingungkan, khususnya jika saya membaca ada kilas balik cerita. Â Arswendo menulisnya "lurus" saja. Tidak ada pengalihan yang tidak perlu.
Klimaks yang terbangun dalam setiap cerita sangat apik dan "membius" saya untuk terus membaca, menimbulkan rasa penasaran akan siapa yang berbuat, entah itu mencuri atau membunuh.Â
Akhir cerita pun tersaji tanpa "drama" yang ajaib. Normal dan sudah sewajarnya. Terkadang saya jengkel kalau akhir cerita yang ada sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai logika. Arswendo menuliskan akhir cerita dengan logis dan tidak dibuat-buat.
Jumlah cerita
Apabila melihat jumlah cerita dalam buku ini, meskipun cuma lima cerita, tapi sewaktu membaca semua cerita, terasa sangat padat berisi dan seperti bukan lima cerita saja.Â
Setiap cerita mempunyai permasalahan masing-masing dengan pengulasan yang baik, sehingga semuanya menyajikan kedalaman kasus dan saya tidak bosan membaca setiap misteri sampai tuntas.
Walaupun setiap cerita disajikan dalam "durasi" singkat, penyampaian masing-masing cerita tidak terburu-buru. Semua cerita diceritakan dalam koridor yang pas dan terkadang mengundang saya sebagai pembaca untuk menebak sendiri nasib pencuri atau pembunuh karena di akhir cerita tidak disebutkan tindakan warga atau aparat terhadap pelaku.
"Aktor" yang terlibatÂ
Melibatkan aktor aparat seperti polisi mungkin agak riskan menurut saya, karena di Indonesia ini, menempatkan polisi dalam pemberitaan atau penceritaan mungkin bisa menimbulkan masalah di kemudian hari jika pihak yang berwajib tidak menerima "penggambaran" figur mereka di media.
Tapi menurut saya, Arswendo sudah menceritakan aktor polisi di dalam setiap cerita Imung di novel ini pada tempatnya. Malah, terkesan polisi di era Imung sangat dekat dengan warga dan mau menerima bantuan warga, apalagi dari seorang remaja tanggung macam Imung yang terkadang di lingkungan masyarakat masih dipandang sebelah mata.
Tidak berjarak. Itulah yang saya "lihat" dari setiap cerita Imung di novel ini. Kedekatan polisi dengan warga, seakan aparat bergaul tanpa sekat dan batas teritorial.Â
Selain itu, artis, pengusaha, sampai remaja menjadi "aktor" yang mewarnai setiap cerita di buku Arswendo ini. Dan anehnya, terkesan semua profesi tersebut membaur tanpa adanya kesenjangan, terutama kesenjangan ekonomi dan status sosial di masyarakat. Arswendo seakan menempatkan mereka semua dalam "dunia rekaan" yang ideal di matanya, yang sekarang ini, sayangnya kesenjangan tersebut menganga lebar.
Penggambaran Imung yang fleksibel
Sebagai remaja tanggung, Imung sangatlah 'cair' dalam pergaulan dengan segala kalangan dari berbagai jenis usia dan profesi, serta status ekonomi dan sosial yang berbeda.Â
Berbeda jauh dengan generasi zaman now yang terkesan individualis, tidak sopan kepada orang yang lebih tua, tidak hormat kepada orang tua, dan lain sebagainya. Tentu saja tidak semua generasi zaman now seperti itu. Ada yang masih dalam standar etika yang benar, namun sayangnya, kebanyakan berperilaku tidak sepantasnya.
Semoga saja pendidikan moral dan karakter di negeri +62 membaik dengan seiring perbaikan kurikulum di era menteri pendidikan yang baru, sehingga tidak menaik keluhan rendahnya etika dan tidak meningkat kemerosotan daya juang generasi zaman now.
Layak atau tidak?
Kalau menilik cerita-cerita di dalam buku ini, menurut saya, buku ini masih relevan sampai saat ini dan sampai kapan pun juga, karena nilai-nilai moral yang terdapat dalam buku ini akan senantiasa abadi di setiap masa.
Bagaimana bersikap kepada orang yang lebih tua, hormat kepada orang tua, menjadi pribadi yang percaya diri dan terus mengembangkan kemampuan diri, adalah salah tiga dari sekian banyak nilai moral yang saya temui di buku ini.
Jadi buku ini sangat layak menjadi rekomendasi buku bacaan untuk segala usia, terutama remaja yang sedang mencari jati diri.
Akhir kata, beginilah laporan buku tentang buku yang menjadi idaman saya dulu. Puji Tuhan, akhirnya kesampaian juga saya membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H