Terkadang memakai istilah yang "terlihat" umum seperti mengenakan topeng yang sebenarnya tidak seperti yang dikatakan.
Seperti yang terlihat pada pengalaman saya di hari Selasa, 17 September 2024. Pada malam itu, R, salah seorang anggota di ibadah keluarga, seorang perempuan yang sudah tak terbilang muda, menyampaikan kesaksian tentang dirinya yang mendapat pekerjaan setelah ada sebulan dia menganggur setelah di-PHK.
Apakah salah kalau R bersaksi?
Tentu saja tidak ada yang salah dengan R. Malah bagus. Sudah seharusnya begitu. Bisa menjadi inspirasi bagi siapa pun yang mendengarnya bahwa usia tidak bisa menjadi penghalang untuk menggapai kesuksesan.
Sayangnya, ada "sesuatu" yang mengganggu di telinga saya. Entah bagaimana dengan anggota-anggota yang lain. Yang jelas, dua kata yang terlontar dari mulut R sangatlah mengganggu pendengaran saya dan "menggelitik" jari-jari tangan saya untuk menulis artikel ini, karena sebenarnya, bukan hanya R saja yang sangat "doyan" menggunakan dua kata ini dalam keseharian, tapi kebanyakan orang yang saya kenal menggunakan dua kata ini, khususnya saat menyampaikan pesan lisan di depan khalayak ramai, entah itu di momen upacara pengibaran bendera setiap hari Senin, waktu memberikan sambutan, atau seperti R, ketika memberikan kesaksian dalam ibadah.
Ya. "Singkat cerita" menjadi dua kata favorit yang menggambarkan bahwa sang pembicara ingin mempercepat proses penceritaan, namun kalau diucapkan berulang-ulang, sampai tiga atau empat kali dikumandangkan, tentu saja menjadi sesuatu yang aneh. Apakah memang cerita tersebut terlalu panjang sehingga harus menggunakan "singkat cerita" sampai lebih dari sekali?
Alasan bablas dalam "bercerita"
R dan beberapa teman melakukan secara lisan. Memang secara pribadi, saya pun terkadang ingin mempersingkat penyampaian saat berbicara di depan banyak orang, khususnya kalau mengutarakan cerita. Tapi kalau menggunakan "singkat cerita" berkali-kali, lebih dari dua kali, menurut saya, sangatlah kurang tepat dalam "memotong" cerita.
Dalam pengamatan, saya melihat kesan-kesan dari berbagai orang ini, khususnya saat bablas menceritakan "panjang kali lebar kali tinggi" sehingga terkesan membosankan dan pamer.
Apa saja yang menjadi sebab bablasnya cerita sehingga "singkat cerita" bertebaran di mana-mana?
Saya menarik 3 (tiga) alasan mengapa mereka sampai bablas dalam bercerita, sehingga "singkat cerita" bertaburan di beberapa bagian.
Pertama, Kecenderungan akan keinginan didengarkan.
Bersama dalam kerumunan, tapi merasa sendirian.
Inilah yang menjadi keanehan di zaman ini. Berada dalam satu ruangan, tapi masing-masing sibuk dengan smartphonenya. Menggulir layar gawai, mata tak berkedip melihat informasi berita atau video dalam aplikasi, fokus dengan kesendirian.
Akibatnya, terkadang kebanyakan orang tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi dari orang lain karena terbiasa dengan kecepatan akses internet di gawai.
Memotong saat orang berbicara adalah hal yang lazim dilakukan, entah itu karena tidak setuju, tidak sabar menunggu lawan bicara selesai, atau ingin berbicara juga tanpa ingin mendengarkan pihak lain selesai menuntaskan bicaranya.
Kecenderungan akan keinginan untuk didengarkan adalah "kebutuhan" yang setiap orang ingin penuhi. Bayangkan kalau tidak ada yang mendengarkan. Predikat sebagai makhluk sosial bisa punah karenanya.
Kedua, Momen berbagi secara lisan yang kurang di era kesibukan setiap individu.
Kurang lebih sama dengan alasan pertama. Setiap manusia mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. Momen berbagi masalah secara lisan yang bisa dikatakan sangat langka saat ini. Sudah sangat jarang kebanyakan insan memperlihatkan rasa empati kepada insan lainnya yang mempunyai masalah.Â
Bukannya memberikan solusi, malah bersikap antipati, dan parahnya justru menghakimi. Menganggap insan lain lemah, bersalah, mudah menyerah, suka mengeluh, dan lain sebagainya.
Tak heran, ada beberapa orang yang memutuskan mengakhiri hidup, karena merasa sudah putus asa dan tidak melihat ada jalan keluar dari persoalan. Beberapa orang tersebut tidak menemukan kasih dari orang-orang di sekitarnya.
Maka, sewaktu ada kesempatan untuk membagikan, entah itu berita gembira atau masalah, bagai bendungan jebol, kata-kata mengalir lancar dan deras tanpa titik koma, tanpa hambatan sama sekali.
Ketiga, Ingin menampilkan "kebisaan" diri dalam berbicara.
Show off.
Pamer.Â
Mungkin ini agak mengarah ke asumsi setiap pribadi ketika melihat pribadi lain "berceloteh" panjang seakan tiada berakhir. Seakan lidah tak bertulang dan mulut seperti tidak punya rem untuk berhenti berbicara.
Apakah ada orang-orang seperti gambaran itu?
Tentu saja ada, dan kita tak bisa menyalahkan mereka karena hak menyuarakan pendapat diatur oleh undang-undang. Yang jelas, jangan sampai merugikan orang lain dan menebarkan kebohongan yang menyesatkan.
Bagaimana menghindari lubernya penggunaan "singkat cerita"?
Bagi saya pribadi, sudah seharusnya penggunaan berlebih "singkat cerita" diakhiri dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, karena selain mengganggu, juga terkesan hanya "pemanis" yang seakan menandakan penyampaian segera berakhir, tapi pada kenyataannya, masih terus berlanjut.
Menurut saya, demi menghindari lubernya penggunaan "singkat cerita", ada 3 (tiga) cara yang bisa kita tempuh.
1. Biasakan banyak membaca
Sejauh mata memandang, beberapa kenalan yang menggunakan "singkat cerita" secara ugal-ugalan menunjukkan kebiasaan membaca yang sangat rendah.
Dalam hal ini, membaca yang saya maksud tidak terbatas pada membaca buku, tapi juga bisa membaca artikel di media daring atau selebaran-selebaran dan brosur-brosur fisik yang mudah ditemui dalam keseharian.
Yang jelas, dengan banyak membaca, kosakata baru senantiasa bertambah dalam diri dan itu semua menjadi bekal dalam berbicara.Â
Dan dengan membaca, kita dapat melihat berbagai macam tulisan dengan gaya yang berbeda-beda. Otomatis, itu semua memperkaya khazanah pola pikir dalam bercerita.Â
Dan seperti kita lihat dalam berbagai bacaan tersebut, bisa dikatakan tidak ada kata-kata "singkat cerita" dalam tulisan-tulisan tersebut.
Dari bacaan-bacaan tersebut, kita akan bisa melihat berbagai cara penceritaan yang tetap padat meskipun dengan kata-kata yang singkat. Kita bisa menerawang betapa efektifnya beberapa penulis, khususnya yang berprofesi sebagai novelis atau cerpenis, dalam "menyuarakan" pikiran mereka dalam untaian kata yang memikat.
Banyak membaca akan membuat kita bijak untuk menggunakan kata-kata yang memang perlu dan tidak boros dengan penggunaan "singkat cerita".
 2. Kembangkan kebiasaan menulis
Kalau orang mengatakan kesukaan akan membaca, sudah tidak mengherankan lagi. Lumrah. Tapi kalau ditanya mengenai korelasi dengan menulis, tentu saja sangat berkaitan erat. Bagaimana bisa lancar menulis jika jarang membaca?
Nah, persoalannya, kebanyakan orang benci menulis tanpa alasan. Sebagai contoh, ada seorang teman guru, L, yang nyata-nyata mengatakan tidak suka menulis!
Dengan banyak menulis, tentu saja ada langkah-langkah kepenulisan yang dipelajari secara beragam. Tapi yang pasti, pengulangan kata akan menunjukkan wawasan penulis yang 'mungkin' kurang dalam perbendaharaan kosakata. Atau bisa juga sang penulis tidak menyunting kembali tulisan dan membiarkan tulisan seperti apa adanya, padahal kemungkinan jelas pasti ada beberapa kesalahan di dalam tulisan awal, seperti typo atau kesalahan ketik; menghapus poin-poin yang dirasa kurang perlu dan menggantinya dengan yang baru; dan yang terlebih penting adalah menyortir kata-kata yang selalu berulang, khususnya kata-kata penghubung seperti dan, yang, lalu, kemudian, dan lain-lain. Pengulangan kata-kata tersebut, selain mengurangi estetika tulisan, juga membuat bosan pembaca jika terlalu banyak kata yang berulang dipakai dalam tulisan.Â
3. Latih kemampuan berbicara secara mandiri dan terarah
Terkadang kesibukan dalam hidup menjadi dalih tak sempat untuk mengembangkan diri. Memang tidak bisa disalahkan. Memenuhi kebutuhan hidup adalah keniscayaan, apalagi kalau sudah berkeluarga.
Namun kalau menyangkut komunikasi, kemampuan berbicara adalah komponen vital dalam kehidupan. Maka sangat penting diri mengembangkan kemampuan berbicara, apalagi profesinya berkaitan dengan kemampuan tersebut.
Sebagai contoh, sebagai guru, mau tidak mau, saya harus mengembangkan kemampuan berbicara khususnya di hadapan peserta didik, supaya materi pelajaran bisa tersampaikan dengan baik.
Oleh karena itu, dulu saya melatih diri dengan berbicara sendiri di dalam kamar.Â
"Lho, kok bicara sendiri di dalam kamar? Gak takut dibilang gila?"
Mungkin begitu pemikiran Anda.Â
Saya tidak takut dibilang gila, karena saya ingin maju. Salah satu dosen saya, S, malah yang menyarankan seperti itu. "No friend, no problem," begitulah katanya kalau kami, para mahasiswa, terkendala dengan ketiadaan lawan bicara yang memang langka, karena lawan bicara dalam berbahasa Inggris memang susah ditemukan di negeri +62.
Kakak-kakak perempuan saya pun menjadi mengerti setelah saya memberitahu tentang tujuan kebiasaan "bicara sendiri" tersebut.
Hasilnya?
Yah, bisa saya katakan lumayan, karena kebisaan saya berbicara dalam bahasa Inggris diakui. Begitu juga dengan kompetensi mengajar saya.
Latih kemampuan berbicara secara mandiri dan terarah. Dengan begitu, saat berbicara secara langsung, meskipun tanpa persiapan, bisa mengalir dengan lancar dan tetap fokus pada inti bahasan, tidak melebar kemana-mana, bahkan tidak mengulang kata-kata yang sama secara terus-menerus.
Pada akhirnya...
Pada akhirnya, cerita akan terus bergulir. Setiap orang mempunyai segudang cerita dan keinginan untuk membagikan senantiasa berkecamuk di dada. Sayangnya, kesempatan berbagi secara lisan tersebut sangatlah minim ditemui.Â
Kalau toh mendapatkan durasi berbagi, waktu tidaklah bersahabat.Â
Sehingga, kompetensi berbicara dan pemilihan kata adalah dua hal penting yang harus menjadi acuan, supaya pemborosan "singkat cerita" tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H