Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mengapa Anak Saya Nakal?

16 Desember 2023   19:55 Diperbarui: 17 Desember 2023   03:37 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengamati peserta didik, baik itu di lembaga pendidikan formal semisal Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA/SMK, serta di kursus bahasa Inggris, dan les privat; ada kecenderungan yang sama kalau membahas tentang anak nakal.

Bertahun-tahun melihat dan terlihat bahwa ada benang merah yang menyebabkan anak menjadi nakal.

Tentu saja, apa yang saya amati dan simpulkan bersifat subjektif. Menurut saya pribadi. Berdasarkan 'kacamata' saya. 

Salah satu contoh terbaru, M, murid les privat yang berstatus peserta didik kelas sembilan di salah satu SMP swasta di Samarinda.

Semakin hari, seiring waktu berjalan, M semakin menyebalkan. 

Tidak menurut pada orangtua, malas, merasa diri benar, tidak sopan pada orang yang lebih tua, dan lain-lain.

Dari sejak kecil sampai kelas 9 SMP sekarang, M menjadi pribadi yang tidak semakin membaik.

Nakal.

Kata ini muncul dalam benak saya. Untuk lebih memastikan keakuratan pengertian, saya membuka aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring di smartphone saya.

Hasilnya adalah sebagai berikut:

na.kal

1. a. suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak)

2. a buruk kelakuan (lacur dan sebagainya)

Jadi apabila menyebut M sebagai anak nakal, itu bisa dikatakan tepat.

Kebanyakan dari anak-anak yang nakal seperti M dan murid-murid lainnya mempunyai kesamaan penyebab yang memicu kenakalan tersebut.

Menurut analisis saya, ada 3 (tiga) penyebab mengapa anak menjadi nakal:

1. Orangtua tidak mendidik anak perihal "takut akan Tuhan" sejak dini

Pendidikan agama pada anak-anak yang bermasalah bisa dikatakan sangat minim dalam keluarga. Orangtua kebanyakan menyerahkan pendidikan agama pada sekolah. Alasan sibuk bekerja menjadi andalan pasifnya orangtua dalam mendidik anak untuk mengenal prinsip-prinsip agama.

Karena saya beragama Kristen Protestan, saya mendasari perihal mendidik anak tentang agama dari salah satu ayat Alkitab, yaitu Amsal 1:7 yang berbunyi, "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan."

Ibarat kata, segala sesuatu berasal dari Tuhan. Bagaimana anak bisa mengenal dan menguasai pengetahuan di dunia ini sedangkan pengetahuan tentang Tuhan tidak dia miliki?

Anak-anak yang baik, sopan, rajin belajar, dan ulet yang saya temui, baik itu di sekolah tempat saya mengajar dulu maupun saat les privat adalah anak-anak yang dididik orangtua sejak dini tentang agama dan praktiknya dalam kehidupan nyata.

Yang nakal kebanyakan berasal dari orangtua yang lepas tangan dalam pendidikan agama pada anak. Herannya justru ada juga beberapa orangtua yang mempunyai kedudukan tinggi, dan dari status sosial ekonomi yang mapan yang melalaikan tanggung jawab mendidik anak dari segi agama. Beberapa di antaranya adalah Pak RT, Bu Dosen, Pengusaha, lengkap dari berbagai tingkatan. 

2. Kedua orangtua bekerja, sehingga anak dititipkan ke orang lain (misalnya kakek, nenek, tante, dan lain-lain)

Tak bisa disangkal, mengandalkan pemasukan dari satu sumber tidak akan cukup untuk menghidupi keluarga dengan satu anak atau lebih.

Mau tidak mau, istri juga turut bekerja supaya kebutuhan hidup keluarga terpenuhi. 

Suami bekerja, istri juga bekerja.

Bagaimana dengan anak? Setelah pulang sekolah, anak ada di mana?

Seperti kebiasaan di Indonesia, karena suami-istri sama-sama bekerja, mereka menitipkan anak pada orangtua suami atau orangtua istri. Kakek dan nenek merawat cucu sampai ayah dan ibu menjemput di sore atau malam hari.

Atau suami-istri memercayakan pengasuhan anak pada salah satu kerabat, misalnya adik sang suami atau adik sang istri yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Tengah hari, setelah anak pulang sekolah; kakek, nenek, atau tante yang mengurus cucu kesayangan atau keponakan.

Ini bahkan mungkin berjalan sejak anak lahir, sebelum anak memasuki jenjang usia sekolah.

Dalam beberapa kasus di masa lampau, ada masalah yang cukup serius berkaitan dengan kenakalan murid.

M dititipkan ke tantenya, R, karena ayah dan ibu M bekerja sampai sore jam lima atau jam enam

R tidak terlalu memperhatikan M. Bagi R, asal makan cukup, istirahat cukup, ya sudah. Tidak perlu ada disiplin. Jangankan keponakan; J, anaknya saja dibiarkan bermain handphone. Tidak pernah belajar dan tidak pernah disuruh untuk belajar.

Hidup tanpa arah. Semaunya.

Waktu ayah dan ibu menjemput pada jam enam malam untuk pulang ke rumah, M sudah capek karena bermain dengan J saat siangnya.

Ayah dan ibunya juga tidak bisa berbuat apa-apa saat malam hari. Mereka tidak bertanya tentang pendidikan M di sekolah.

Ini baru satu kasus. Masih banyak kasus-kasus lain yang tidak mungkin dibahas semua di sini.

3. Orangtua tidak menanamkan budaya membaca dan menulis pada anak

Ini juga yang menjadi masalah. Rendahnya minat baca dan tulis di Indonesia bukan tanpa sebab.

Kebanyakan dari rumah murid les tidak mempunyai rak buku dengan buku-buku yang menawarkan pengetahuan. Yang ada malah TV layar datar super besar dan tidak hanya berada di ruang keluarga, tapi juga ada di ruang-ruang tidur masing-masing anggota keluarga.

"Supaya tidak ribut perihal mau nonton apa," kata S, salah seorang ibu murid les privat beberapa tahun yang lalu, waktu gawai canggih seperti ponsel pintar, tablet, dan laptop belum menjamur.

Sekarang, gawai menjadi barang "wajib" yang seakan-akan harus hadir di genggaman tangan setiap anggota keluarga. 

Buku? Hanya buku pelajaran yang ada. Itupun dijamah saat mau pergi ke sekolah atau kalau ada pekerjaan rumah.

Bagaimana membentuk karakter anak?

Nakal tidak mungkin terjadi jika orangtua mendidik anak, membentuk karakter anak sejak usia dini.

Oleh karena itu, menurut saya, berdasarkan pengamatan akan beberapa orangtua murid selama bertahun-tahun, ada tiga langkah yang orang tua perlu lakukan untuk membentuk karakter anak.

1. Didiklah anak untuk "takut akan Tuhan"

Pendidikan yang sebenarnya berasal dari keluarga. Ayah dan ibu memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak.

Apapun agamanya, kalau orangtua mendidik anak tentang agama secara konsisten sejak usia dini, niscaya anak akan berperilaku baik, sopan, taat beribadah, dan tangguh dalam menghadapi berbagai macam masalah.

Terbukti murid-murid yang rajin, sopan, dan disiplin di SD dimana saya mengajar dulu adalah hasil dari jerih lelah orangtua dalam mendidik mereka sedemikian rupa dan tidak menyerahkan tanggung jawab mendidik sepenuhnya kepada guru-guru di sekolah.

Murid-murid yang beragama Islam, misalnya. Murid-murid yang beragama Islam yang rajin, sopan, cerdas, dan ulet, ternyata, setelah saya selidiki, ayah dan ibu mereka mendidik mereka dengan pola hidup disiplin sesuai ajaran agama, seperti sholat lima waktu, mengaji, dan lain sebagainya. Tak heran, anak-anak mereka berperilaku baik.

Begitu juga dengan murid-murid yang beragama Katolik dan Kristen Protestan. Murid murid yang beragama Katolik dan Kristen Protestan yang sopan, rajin, cerdas, dan ulet; setelah saya menelusuri, ayah dan ibu mereka mendidik mereka untuk "takut akan Tuhan" sejak usia dini, dengan menyertakan anak-anak di Sekolah Minggu, bersaat teduh bersama di pagi hari, membaca Alkitab, berdoa bersama, dan lain sebagainya.

Sayangnya, tidak banyak murid yang beragama Hindu dan Buddha yang saya temui selama pengalaman mengajar, tapi saya percaya, karakter anak yang baik sangat dipengaruhi oleh didikan ayah dan ibu untuk menjalankan ajaran agama dengan benar, karena tidak bisa dari salah satu pihak saja yang berperanan. Harus dua-duanya.

Izinkan saya mengutip salah satu ayat Alkitab yang menggambarkan peran ayah dan ibu dalam membentuk karakter anak. Amsal 1:8 berbunyi. "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu." Jelas di ayat ini bahwa ayah dan ibu bekerjasama dalam membentuk karakter anak.

Dan lewat agamalah, ayah dan ibu meletakkan dasar pertama supaya anak kelak menjadi pribadi yang berguna.

2) Memantau perkembangan anak secara fisik dan psikis, meskipun ayah dan ibu bekerja

Jangan sampai ayah dan ibu lepas tangan perihal perkembangan anak secara fisik dan psikis, karena percaya sepenuhnya pada sekolah dan asisten rumah tangga atau kakek dan nenek sang cucu atau tante sang keponakan alias kakak atau adik sang ayah atau adik sang ibu.

Tidak ada yang bisa menggantikan peran ayah dan ibu. Sesibuk apa pun, secapek apa pun, ayah dan ibu harus memantau perkembangan anak secara fisik dan psikis.

Ayah dan ibu harus memastikan asupan gizi yang seimbang pada menu makan sang anak, baik untuk sarapan pagi, makan siang, makan malam, dan beberapa cemilan di antaranya.

Tapi tidak cukup secara fisik. Psikis anak juga harus diperhatikan. Bagaimana jiwa, mental anak di sekolah dan saat berada di dalam rumah kakek-nenek atau om-tante.

Apakah anak senang belajar di sekolah?

Apakah kakek-nenek atau om-tante menerapkan disiplin belajar pada anak atau malah membiarkan anak berbuat semaunya, sesukanya?

Kenyamanan anak dalam belajar demi masa depan sudah seharusnya menjadi pertimbangan matang. Jangan sampai hanya materi untuk fisik yang dipenuhi. Psikis anak juga harus mendapat perhatian ayah dan ibu.

3. Ciptakan dan tumbuhkan budaya gemar membaca dan menulis dalam keluarga

Rendahnya budaya baca dan tulis sangat memprihatinkan. Nilai PISA yang diperoleh Indonesia sudah menggambarkan minimnya kompetensi peserta didik di negeri +62.

Ayah dan ibulah yang menjadi garda terdepan untuk menciptakan dan menumbuhkan budaya gemar membaca dan menulis dalam keluarga.

Menyediakan berbagai buku di rumah, di sejumlah ruangan, adalah upaya untuk menciptakan dan menumbuhkan budaya-budaya tersebut supaya kesadaran akan pentingnya buku tercipta.

Mengajak buah hati ke toko buku bisa menjadi pemantik motivasi membaca anak karena anak bisa memilih buku bacaan yang dia suka.

Anggaran terbatas? Meminjam buku di perpustakaan bisa menjadi solusi tetap mendapat pengetahuan secara gratis. Mengajak anak ke perpustakaan bisa sekaligus menjadi wisata literasi dibanding jalan-jalan ke mal.

Budaya menulis adalah kembaran budaya membaca. Ibarat gelas adalah diri, membaca adalah air. Jika gelas sudah penuh, air bisa terbuang percuma.

Daripada sia-sia terbuang, pindahkan air ke gelas-gelas yang lain, ke orang-orang lain, supaya mendapat manfaat yang sama dari isi buku-buku tersebut, atau malah memperoleh manfaat lain, menginspirasi hidup.

Saya terbentuk dari berbagai genre buku yang membuat mata saya terbuka akan kayanya keindahan dunia ini. Dari buku-buku, saya bersyukur akan hidup ini yang Tuhan sudah berikan pada saya, dan melalui buku-buku, saya bisa lebih berempati terhadap orang lain. 

Menulis membimbing saya untuk lebih memaknai hidup, bahwa hidup akan lebih berarti apabila meninggalkan warisan yang abadi.

Harta bisa dicuri, raga dapat binasa, tapi tulisan akan tetap kekal selamanya.

Dan terbukti, manfaat membaca dan menulis tidak hanya saya pribadi yang merasakan, tapi juga beberapa murid yang memang mendapatkan budaya membaca dan menulis dalam keluarga mereka.

Berkaca pada diri sendiri

Pertanyaan "Mengapa anak saya nakal?" yang keluar dari beberapa orangtua murid di masa lalu merupakan cerminan kalau mereka bingung akan polah tingkah buruk putra-putri.

Secara pribadi, saya mengatakan bahwa buang-buang waktu mencari kesalahan di pihak di luar keluarga. Karena fondasi awal berasal dari keluarga, dari ayah dan ibu.

Apabila ayah dan ibu memberi contoh yang baik, mendidik dan mengajar anak sesuai dengan ajaran agama yang dianut; memantau perkembangan anak secara fisik dan psikis; dan menciptakan serta menumbuhkan budaya baca-tulis dalam keluarga, niscaya anak akan beranjak menjadi pribadi yang dewasa, beriman, berintegritas, cerdas, dan tangguh dalam menghadapi berbagai macam masalah di masa yang akan datang.

Jika ayah dan ibu mengabaikan kewajiban mereka dalam mendidik anak dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan putra-putri pada sekolah dan orang lain, jangan salahkan kalau karakter anak tidak seperti yang diharapkan.

Berkaca pada diri sendiri, evaluasi, dan perbaiki. Itu yang sebaiknya dilakukan. Mumpung anak belum akil balig, sehingga kenakalan masih bisa ditanggulangi.

Kalau anak sudah menginjak usia dewasa, sudah terlambat untuk memperbaikinya.

Karena penyesalan selalu datang belakangan. Kalau datang di awal, namanya pendaftaran.

Anak nakal, siapa yang menginginkannya?

Jawabannya jelas dan tegas.

"Tidak ada seorang pun!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun