Alkisah ada seorang lelaki bernama Beni. Hidupnya penuh kegetiran hati. Curahan kata tertuang menjadi kalimat-kalimat duka. Tulisan yang menggambarkan luka.
Setiap hari selalu berkeluh kesah. Menyampaikan rentetan kata berisi desah dan gelisah. Seakan ingin meluapkan segala sumpah serapah. Seperti membuang segala macam sampah.
Ada saran dari beberapa kenalan. Sisipkan sedikit canda sebagai masukan. Jangan mengisi dengan kemuraman melulu. Jangan semuanya berbentuk kesedihan dari hilir ke hulu.
Beni mencoba memenuhi keinginan mereka. Dia membubuhi sedikit humor dalam beberapa bagian. Dia juga berusaha meniru beberapa penulis puisi terkemuka. Menempelkan berbagai kelakar di setiap tulisan.
Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Jiwanya jadi tertekan. Hidupnya penuh derita. Sebaliknya dia menuangkan segala kata canda tawa seakan-akan dia juga menghadapi keriangan kisah sebagai realita.
Beni sadar. Menulis yang tidak dialami bukanlah hal yang benar. Dia membohongi diri dan pembaca. Menulis kegembiraan padahal di sisi terdalam penuh dengan derita.
Berhenti berusaha menjadi orang lain. Jadilah diri sendiri. Diri bukanlah patung lilin. Jangan jadi imitasi.
Samarinda, 19 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H