Aku cuma guru biasa. Berdomisili di kota Samarinda. Jauh dari ibukota. Baru sekali dua ke Jakarta.
Apa daya aku tak punya apa-apa. Harta tak ada. Kemampuan juga biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Untuk menyatakan cinta pun aku tak mampu. Aku tak pandai merangkai kata-kata puitis yang bisa menarik hati gebetan. Hanya satu yang bisa kulakukan. Kukatakan dengan petikan.
Beberapa gadis pernah menjadi pacar. Ada yang sekota, ada juga yang terpaksa harus menjalani PJJ alias Pacaran Jarak Jauh.Â
Di saat hati mulai merindu, suara sang kekasih tetap tak bisa memupus rasa. Sang pujaan di sana, di seberang lautan, dan aku di sini.
Dia meragukan cintaku. Aku meyakinkannya. Bukan dengan argumentasi atau rayuan gombal. Kukatakan dengan petikan.
Namun, terkadang aku bernasib sial. Hati sakit karena dikhianati. Apakah aku lalu berniat ingin bunuh diri? Untuk apa? Apa untungnya bagiku dan ruginya bagi mantan? Lebih baik aku mengevaluasi diri dan dengan satu kalimat pamungkas dalam hidupku ini, aku berkata, "Kukatakan  dengan petikan."
Kehidupan penuh dengan dinamika. Ada naik dan turun. Kuhadapi dengan tabah. Tak apa. Karena apabila datang kesusahan maupun kegembiraan, selalu kubilang pada semua orang, "Kukatakan dengan petikan."
Samarinda, 1 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H