Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

[Script Film Pendek] Cuma Lima Ribu

31 Mei 2020   16:28 Diperbarui: 31 Mei 2020   16:23 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com/_Alicja_

Latar : Jalanan di suatu perumahan elit A dan salah satu rumah mewah yang tong sampahnya penuh dengan bangkai pensil. 

Pemain : Paijo (Tukang sampah keliling), Doni, Bu Santi (Ibunya Doni); Bu Dina, Bu Susan, dan Bu Maria (Ibu-Ibu yang tinggal di perumahan yang sama)

Babak Pertama :

Setelah sarapan tempe seperti biasa, Paijo berkeliling di perumahan elit A. Gerobak sampah berada di belakangnya. Sepeda motor pinjaman dari pengelola perumahan menarik gerobak. Sepeda motor yang sudah tak jelas bentuknya dan entah sampai kapan bisa bertahan. 

Hari ini, dia agak terlambat mengambil sampah para penghuni, penduduk di perumahan. Badannya agak meriang. Untung, jam kerja sebagai tukang sampah sangat fleksibel. Terserah. Asal jangan sampai lewat tengah hari. Bakal mendapat banyak omelan dari para ibu gaul di perumahan. 

Bu Dina : "Jo, kamu kok lama banget ngambil sampahnya. Keburu digaruk kucing nih."

Bu Susan : "Kesiangan bangun ya, Jo?"

Bu Maria : "Jo, kamu mau ikan asin? Aku ada banyak nih. Ada keluarga kasih."

Macam-macam komentar para ibu di perumahan. Paijo senang aja. Karena tidak ada yang aneh-aneh. Malah, kebanyakan kasih 'sesuatu', entah kue lebaran, minuman ringan, sampai ikan asin yang diberi oleh Bu Maria tadi.

Babak Kedua : 

Rumah yang satu ini unik. Sampahnya lain dari yang lain. Selain sampah kotoran ikan, sayuran, dan sampah rumah tangga biasa, ada 'bangkai' pensil yang sudah tinggal secuil. 

Bu Santi (sedang memotong rumput di halaman) : "Bangun kesiangan, Jo?"

Paijo : "Gak sih, Bu. Lagi gak enak body. Meriang. Jadi pergi kerja agak siangan."

Bu Santi : "Kasihan. Makanya, Jo. Kamu cepat-cepat cari istri. Supaya ada yang ngurus. Ada yang masakin, mijatin, dan kerokin kalau habis pulang kerja."

Paijo : "Mana ada yang mau sama tukang sampah seperti saya, Bu. Udah gaji di bawah standar, penampilan pun menyedihkan."

Bu Santi : "Ah, kamu ini. Merendah betul. Tunggu sebentar, Jo." (Bu Santi beranjak ke dalam rumah. Paijo mengambil plastik besar berisi sampah dari rumah Bu Santi dan rumah-rumah di sekitar).

Tak lama, Bu Santi keluar, dan mengangsurkan sebuah bungkusan plastik putih. 

Bu Santi : "Ini buat kamu, Jo."

Paijo : "Apa ini, Bu? (Paijo menerima bungkusan itu dengan ragu).

Bu Santi : "Obat masuk angin, balsem, dan kue kering.  Supaya kamu agak mendingan. Bahaya kalau sakit di masa corona sekarang ini."

Paijo : "Wah, makasih banyak lho, Bu."

Bu Santi : "Sama-sama." (Bu Santi mengambil gunting rumput kembali dan mulai meneruskan kegiatan sebelumnya yaitu memotong rumput di halaman rumahnya)

Paijo bergerak ke sepeda motornya, menggantung bungkusan pemberian Bu Santi, dan ingin beranjak pergi. 

Tapi dia tiba-tiba teringat sesuatu. Dia pun berbalik dan menuju ke depan pagar rumah Bu Santi.

Paijo : "Bu?"

Bu Santi (mendongakkan kepala ke arah Paijo) : "Ya, Jo. Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

Paijo : "Ada yang mau saya tanyakan."

Bu Santi : "Oh, mau nanya apa? (Bu Santi tetap meneruskan kegiatan potong rumputnya)

Paijo : "Itu. Pensil-pensil yang ibu buang. Banyak sekali. Saya penasaran. Pengin tahu. Anak ibu suka menggambar ya?"

Bu Santi (berdiri sambil mendesah) : "Aku tahu, cepat atau lambat pasti kamu tanya soal itu."

Paijo : "Oh, kalau Ibu keberatan untuk memberitahu, ya tidak apa. Saya malah minta maaf karena terlalu lancang, ingin tahu urusan orang lain..."

Bu Santi : "Tidak apa, Jo. Aku juga pengin cerita ke orang lain. Karena suamiku sendiri tidak peduli dengan itu."

Bu Santi meletakkan gunting di bawah pohon mangga di sebelahnya. Lalu dia duduk di tangga depan pintu rumah.

Bu Santi : "Doni tidak suka menggambar. Dia menggunakan pensil secara boros."

Paijo : "Maksudnya menggunakan pensil secara boros itu yang bagaimana, Bu?"

Bu Santi : "Anak saya itu terlalu dimanja sekaligus dibiarkan oleh papa-nya. Apa pun yang diminta Doni, papa-nya selalu menuruti. Termasuk soal pensil ini.

Bu Santi : "Doni selalu ingin pensil-pensilnya dalam kondisi runcing. Tumpul sedikit, langsung dia raut.

Bu Santi : "Sudah sering saya tegur supaya jangan terlalu sering diraut. Nanti cepat habis pensilnya. Kamu tahu apa tanggapannya?" (Bu Santi balik bertanya pada Paijo)

Paijo : "Gak enak nulisnya kalau tumpul. Saya sering dengar anak tetangga saya ngomong begitu kalau pensilnya tumpul."

Bu Santi : "Anakku ngomong kayak gitu juga, tapi ada tambahan sesudahnya."

Paijo : "Oh, apa tambahannya, Bu?"

Bu Santi : "Dia bilang, 'Cuma lima ribu. Kan bisa beli yang baru'."

Paijo : "Anak ibu bilang begitu?"

Bu Santi : "Iya, Jo. Saya tidak bisa berbuat banyak. Papa-nya selalu membiarkan dan bilang hal yang sama. 'Pensil kan cuma lima ribu, Ma. Gak apa keluar uang untuk beli pensil'.

Bu Santi : "Ya, kalau pemakaiannya bijak sih, saya tidak protes. Tapi kalau tumpul sedikit, langsung diraut, ya pensil cepat habis. 

Bu Santi : "Seandainya papa mamanya gak ada lagi, gimana si Doni ya?" (sambil menerawang, memandang ke langit biru)

Paijo : "Saya doakan anak ibu, si Doni ada perubahan nanti. Supaya lebih menghargai uang, meskipun cuma lima ribu rupiah."

Bu Santi : "Amin. Makasih ya, Jo."

Paijo (melihat hapenya) : "Waduh hampir tengah hari. Oke, Bu. Saya lanjut. Maaf ya, Bu, kalau saya kepo."

Bu Santi : "Gak papa, Jo. Aku malah senang. Lega. Bisa bicara tentang anakku. Kamu bilang mau doakan aja, aku sudah senang. Jadi ada yang membantuku mendoakan supaya anakku berubah."

Paijo : "Saya pamit, Bu."

Bu Santi : "Iya, Jo. Hati-hati."

Babak Ketiga : 

Setelah selesai dengan sampah rumah tangga warga, Paijo pun pulang ke "rumah"-nya. Sebuah kamar kos ukuran empat kali lima.

Sudah pukul tiga. Terlambat untuk makan siang. Tempe goreng seharga lima ribu dapat sepuluh potong. Tiga potong sudah dimakan untuk sarapan pagi. Sisa tujuh. 

Diambilnya tiga potong. Dimakannya dengan nasi putih panas dari magic com, plus dibubuhi kecap manis. Nikmat. 

Sisa empat potong tempe untuk makan malam.

Seandainya pensil-pensil tadi masih utuh, dia akan jual untuk mendapatkan uang. Satu seharga lima ribu. Kalau sepuluh pensil berarti lima puluh ribu. Bisa untuk makan selama sepuluh hari. 

Cuma lima ribu. 

Paijo geleng-geleng kepala mengingat kata-kata anak Bu Santi. Bagi orang gedongan, lima ribu mungkin tidak berarti bagi mereka. Baginya, lima ribu berarti biaya makan untuk sehari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun