Cuma lima ribu. Tiga kata yang selalu sama. Keluar dari mulut anak laki-laki itu. Menganggap remeh nilai dari sebuah rupiah.
Pensilnya berharga lima ribu rupiah. Selalu diraut. Sang anak ingin si pensil selalu tajam. Tak mau ada tumpul sedikitpun.Â
Akibatnya, dia selalu kehabisan pensil. Ibu si anak suka mengeluh kepadaku. Aku yang menjadi tempat curhatnya. Tukang sampah yang heran melihat bangkai pensil. Begitu banyaknya. Seperti puntung rokok bertebaran.
"Aku sudah bilang sama anakku. Jangan sebentar-sebentar meraut pensil. Nanti cepat habis. Dia tidak peduli. Katanya, "Cuma lima ribu. Kan bisa beli yang baru"."
Begitu keluh kesah sang ibu.Â
Untuk hidup sehari, aku membelanjakan lima ribu rupiah. Aku hidup dari uang lima ribu. Lima ribu sehari. Bagiku, uang lima ribu sangatlah berharga. Kalau tidak ada, aku makan apa?Â
Aku membeli tempe dengan uang lima ribu. Dapat sepuluh potong. Tempe goreng. Pagi tiga, siang tiga, dan finalnya, malam hari empat tempe beserta nasi putih panas dibubuhi kecap manis supaya perut kenyang dan bisa tidur nyenyak saat malam.Â
Selama tiga bulan ini, aku terpaksa melakukannya. Makan tempe goreng seharga lima ribu. Aku tetap bersyukur. Masih bisa makan di saat yang lain mungkin tak bisa.Â
Lima ribu. Itu harta bagiku. Tapi bagi anak laki-laki ini. Yang sudah terbiasa dengan kemewahan. Bagi dia, lima ribu tidak ada artinya.Â
Aku merasa kasihan dengan anak laki-laki ini. Entah bagaimana nasibnya, seandainya papa mamanya tidak bersamanya lagi.Â
Samarinda, 30 Mei 2020