Perempuan itu menyapu dengan kuyu. Sapu lidi nyaris terlepas dari genggaman. Menyapu jalanan saat subuh setelah sahur. Itulah pekerjaan utamanya.Â
Ditilik dari perawakan, usianya tak lagi muda. Padahal umurnya belum beranjak dari kepala tiga. Kegetiran hidup membuat diri terlihat lebih tua. Kesukaran ekonomi menguras energi sampai nyaris ke titik nadir.
Sudah bertahun-tahun dia menjalani profesi penyapu jalan. Jam kerja saat subuh sampai matahari terbit di sebelah timur. Gerakan sudah otomatis. Nyaris tanpa perubahan.
Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Corona merajalela. Meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan. Dari normal jadi abnormal.Â
Perempuan ini ingat sang putri. Anak satu-satunya. Harapan dia. Kesayangannya.
Sekarang sang buah hati berada di rumah. Lelah setelah membantunya bekerja pada tetangga sebelah rumah. Membuat menu sahur. Puji Tuhan, terjual habis tanpa sisa.Â
Masih ada orang baik di bumi ini. Lembaran rupiah hasil kerja didapat dari sang majikan. Dia terus lanjut kerja jadi penyapu jalan. Sang putri melanjutkan tidur yang masih jauh dari delapan jam.
Perempuan itu ingin membelikan ponsel pintar untuk sang putri. Supaya sang anak jadi pintar seperti si ponsel. Harapannya, nilai kepintaran sang anak kelak jadi lebih berkali-kali lipat dibanding si ponsel.Â
Tidak enak numpang menggunakan ponsel punya teman. Pernah sang putri mengigau saat tidur waktu malam. Anaknya memang anak yang baik, penurut, dan tidak pernah menuntut. Dia tidak pernah meminta apa-apa pada ibunya.Â
Sang putri membantu ibunya membuat makanan menu sahur dan takjil di tetangga sebelah rumah. Untuk menambah pemasukan buat beli beras dan lauk pauk. Begitu kata perempuan itu pada sang anak.Â
Perempuan itu secepat mungkin menyapu jalanan. Ingin segera menuntaskan tugas. Supaya dia bisa rehat sejenak. Sehat, kata yang mahal sekarang ini. Jangan sampai sakit. Sehat itu mahal, tapi sakit lebih mahal lagi.Â